ALINEA

Takjil

Riau | Minggu, 20 Mei 2018 - 10:53 WIB

Takjil
Fatmawati Adnan

Waspadai Takjil Berwarna Cerah. Warga Kerumuni Dagangan Penjual Takjil Cantik di Pasar Rawamangun. Serunya Berburu Takjil Sekaligus Sembako Murah. BPOM Bandung Pantau Takjil Berbahaya.

Itulah judul-judul berita tentang takjil yang dimuat di koran pada Ramadan tahun lalu. Menyimak makna kata takjil pada judul-judul tersebut, secara leksikal kata “takjil” merupakan nomina yang dimaknai sebagai makanan untuk berbuka puasa.

Baca Juga :Alfa Scorpii bersama Komunitas Yamaha Berbagi Takjil di Cut Nyak Dien

Tidak hanya di koran atau media massa lainnya, masyarakat Indonesia secara luas juga beranggapan demikian. Artinya, secara meluas takjil dikategorikan sebagai nomina yang bermakna makanan untuk berbuka puasa. Benarkah makna takjil yang “sebenarnya” adalah makanan untuk berbuka puasa?

Kata takjil merupakan unsur serapan yang berasal dari bahasa Arab. Kata ta’jil dalam bahasa Arab bermakna “bersegera” atau “menyegerakan”. Kata ini termaktub dalam hadis Nabi Muhammad yang menganjurkan umat Islam untuk berbuka dengan bersegera atau menyegerakan berbuka ketika sudah sampai waktunya.

Kata takjil dalam KBBI dikategorikan sebagai verba yang bermakna “mempercepat (dalam berbuka puasa)”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna yang diambil oleh KBBI sesuai dengan makna kata takjil dalam bahasa Arab. Akan tetapi, masyarakat dan media tidak memaknai kata takjil seperti makna sebenarnya dalam bahasa Arab atau makna leksikal yang sudah tercantum di KBBI.

Menyikapi beredarnya makna kata takjil sebagai nomina (makanan untuk berbuka puasa) secara luas di masyarakat Indonesia, akhirnya pada KBBI edisi ke-5 yang diluncurkan pada 26 November 2016 dimunculkan makna kedua tersebut. Jadi, makna pertama kata takjil adalah verba “mempercepat (dalam berbuka puasa)” dan nomina “makanan untuk berbuka puasa”.

Kasus yang sama terjadi pada akronim tol. Sebagian besar orang Indonesia menganggap tol sebagai adjektiva yang bermakna “bebas hambatan”, jalan tol disebut jalan bebas hambatan. Dalam berbagai kesempatan, kita mendengar dan membaca akronim tol juga dimaknai demikian. Pertanyaannya adalah apakah tol memang bermakna bebas hambatan dalam bahasa sumbernya?

TOL merupakan singkatan dari tax on location, secara harfiah dimaknai “bea di lokasi atau bayar di lokasi”. Istilah TOL dilekatkan pada benda atau fasilitas yang berbayar, misalnya jalan raya. Jadi, jalan tol itu mestinya dimaknai sebagai jalan berbayar.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan tol sebagai (1) nomina; pajak untuk memasuki jalan tertentu (misalnya jalan bebas hambatan, jalan layang); (2) jalan yang mengenakan bea bagi pemakainya; (3) bea masuk kendaraan atau barang impor lain; dan (4) pintu cukai, gerbang cukai. Keempat arti tol dalam KBBI tersebut mengategorikannya sebagai nomina, bukan adjektiva yang bermakna “bebas hambatan”.

Kasus unsur serapan lainnya yang dimaknai berbeda dengan konsep dasar dalam bahasa sumber adalah kata absen. Kita sering mendengar orang mengatakan kalimat  “saya ke kantor mengisi absen”. Kata absen diserap dari bahasa Inggris absent, di KBBI kata ini didefinisikan “tidak masuk (sekolah, kerja, dan sebagainya); tidak hadir”. Jadi, kalimat “saya ke kantor mengisi absen” tidak logis digunakan. Kalimat tersebut memaknai kata absen sebagai daftar hadir atau kehadiran. Padahal, makna sebenarnya justru sebaliknya, yaitu ketidakhadiran.

TOL dan absen dimaknai berbeda dengan konsep dasar kata tersebut dalam bahasa Inggris. Meskipun masyarakat sering menggunakan konsep yang berbeda itu, pada KBBI edisi terbaru (edisi 5) belum dimunculkan makna tambahan, seperti yang dialami kata takjil.

Setelah kata takjil selama bulan Ramadan, ketika idul fitri mulai mendekat, muncullah rangkaian kata-kata berbahasa Arab dan Indonesia yang paling populer: minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin. Kalimat ini tertulis di kartu lebaran, kotak neon, papan iklan, kain rentang, televisi, media sosial, koran, dan lainnya.

Berkaitan dengan rangkaian kata-kata tersebut dilakukan survei sederhana kepada sejumlah siswa, mahasiswa, guru, dan masyarakat umum. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah makna “minal aidin wal faizin”? Berdasarkan hasil survei tersebut dapat dikemukakan bahwa 90% responden menjawab “mohon maaf lahir dan batin”, 7% menjawab tidak tahu, dan 3% mengatakan ada makna lain.

90% responden menyatakan bahwa makna minal aidin wal faizin adalah mohon maaf lahir dan batin. Benarkah demikian?  

Secara harfiah minal aidin wal faizin artinya adalah “Termasuk dari orang-orang yang kembali sebagai orang yang menang”. Pada zaman khulafah-urrosyidin, ucapan minal aidin wal faizin digunakan sebagai ungkapan bangga atas kemenangan perang yang sebenarnya, misalnya Perang Badar.

Barangkali, minal aidin wal faizin diucapkan ketika lebaran karena bulan Ramadan adalah bulan yang penuh perjuangan untuk mendapatkan rahmat dan ampunan Allah Taala. Semua kebaikan tersebut diperoleh melalui perjuangan melakukan amal ibadah dan melawan hawa nafsu. Setelah Ramadan selesai, harapan yang dipohonkan adalah semoga kita termasuk orang-orang yang kembali sebagai orang yang menang.

Dalam budaya Arab, ucapan yang disampaikan ketika menyambut Hari Idul Fitri (yang mengikuti teladan Nabi Muhammad Saw.) adalah "Taqabbalallahu minna waminkum", kemudian menurut riwayat, ucapan nabi ini ditambahkan oleh orang-orang yang dekat dengan zaman nabi dengan kata-kata "Shiyamana wa shiyamakum", yang artinya puasaku dan puasamu, sehingga kalimat lengkapnya menjadi "Taqabbalallahuminna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum" (Semoga Allah menerima amalan puasa saya dan kamu) (Aditama, 2017).

 Dilihat dari situasi kebahasaan dapat dikatakan bahwa unsur bahasa asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dapat mengalami “pergeseran” makna. Mengapa makna yang dimunculkan dalam bahasa Indonesia berbeda dengan konsep dasar unsur serapan tersebut? Bagaimana penyebarluasannya sehingga “makna yang tidak sebenarnya” yang lebih dikenal dan digunakan oleh masyarakat?

Jika ditelusuri masih banyak ditemukan kasus penerjemahan yang “melenceng” dari konsep dasar dalam bahasa sumber. Salah satu penyebab terjadinya hal ini adalah faktor ketidaktahuan. Artinya, informasi tentang ini tidak menyebar luas di kalangan masyarakat. Sementara itu, “makna yang tidak sebenarnya” digunakan secara merajalela di berbagai kalangan, baik lisan maupun tulis. Pemerintah dan media massa berperan besar dalam penyebarluasan “makna yang tidak sebenarnya”.

Menyikapi situasi yang seperti ini, sudah seharusnya lembaga, media massa, dan orang-orang yang berwenang hendaknya melakukan upaya-upaya penyebarluasan informasi kebahasaan. Dengan demikian, penerjemahan unsur serapan bahasa asing tidak bertentangan atau menyalahi konsep dasar makna sebenarnya dalam bahasa sumber. Selain itu, masyarakat juga akan mengetahui, memahami, dan menggunakan unsur serapan bahasa asing sesuai dengan makna yang tepat. Berbahasa yang cerdas tidak sekadar berujar, tetapi juga memahami makna yang tepat dan sesuai. Berkata, bermakna, bersesuaian.

Kembali ke kata takjil, bagi mereka yang sudah mengetahui makna “sebenarnya” sesuai konteks bahasa Arab (bersegera), sepertinya untuk penggunaan sehari-hari tetap “harus” mengacu pada makna “makanan untuk berbuka”. Sebab, makna kedua dalam KBBI inilah yang lebih dikenal dan digunakan dalam masyarakat. Hal ini bisa dibuktikan sendiri jika kita ke Pasar Ramadan petang ini.***

Fatmawati Adnan, Balai Bahasa Riau









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook