Presiden Disadap, Dubes Ditarik

Riau | Selasa, 19 November 2013 - 09:09 WIB

JAKARTA (RP) - Belum reda isu penyadapan yang dilakukan Australia terhadap sejumlah pejabat tinggi Indonesia, muncul kabar mengejutkan bahwa pemerintah negeri Kanguru tersebut juga menyadap percakapan telepon Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY) dan orang-orang dekatnya.

Penyadapan tersebut diberitakan dua media besar Australia, yakni situs radio ABC dan koran Guardian Australia. Hal tersebut memicu reaksi keras dari Pemerintah Indonesia.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha menuturkan, Presiden SBY langsung menginstruksikan menteri dan pejabat terkait untuk segera menangani hal tersebut.

”Saat ada aksi penyadapan oleh negara tertentu terhadap Indonesia diangkat atau diberitakan, Presiden segera menginstruksikan jajaran terkait khususnya Menlu dan Kepala BIN untuk melakukan telahan dan meminta klarifikasi terhadap pihak yang dimaksud (Australia, red),’’ jelas Julian saat dihubungi, Senin (18/11).

Julian melanjutkan, saat ini, Kemenlu dan BIN tengah melakukan sejumlah langkah terkait berita penyadapan tersebut. Soal detail langkah-langkah yang dilakukan kedua lembaga tersebut, Julian belum bisa bicara banyak.

”Yang jelas Kemenlu dan BIN sedang bekerja dan merumuskan langkah lebih lanjut sesuai dengan perkembangan di lapangan. Untuk lebih lanjut bisa dijelaskan Kemenlu dan BIN,’’ tegasnya.

Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah menambahkan, berita penyadapan tersebut harus segera diklarifikasi oleh pihak Australia.

Hal tersebut cukup krusial untuk dilakukan, karena berita penyadapan tersebut mengancam hubungan bilateral kedua negara.

”Pemerintah Australia perlu klarifikasi hal ini ke Pemerintah Indonesia. Ini penting untuk menjernihkan suasana. Adanya berita tersebut saja sudah berpotensi menganggu hubungan (Indonesia-Australia, red),’’ jelas Faizasyah di Jakarta, kemarin.

Sementara itu, Kemenlu memastikan bahwa Pemerintah Indonesia akan memanggil pulang Duta Cesar (Dubes) RI di Australia, Nadjib Riphat Kesoema.

Pemanggilan tersebut dilakukan sebagai penunjukan sikap atas berita penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Presiden RI, Ibu Negara, dan sejumlah pejabat tinggi di era awal kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

”Kami Memanggil pulang Duta Besar RI untuk Australia di Canberra untuk melakukan konsultasi dan memperoleh informasi tentang apa yang terjadi di Australia,’’ ujar Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam jumpa pers di Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta, kemarin.

Dalam kesempatan tersebut, Marty menyatakan, pemanggilan Dubes RI di Canberra itu sebagai langkah tegas sebagai jawaban kekecewaan insiden penyadapan kepala negara RI oleh intelijen Australia.

Namun Marty menolak mengatakan jika pemanggilan tersebut akan dilakukan dalam waktu yang lama. Ia menegaskan bahwa pemanggilan tersebut hanya untuk memperoleh informasi dari duta besar mengenai isu penyadapan yang terjadi.

”Saya sebutkan istilahnya konsultasi karena untuk memperoleh informasi dari duta besar kita. Jadi tidak cerdas atau tepat kalau kita proklamirkan beliau berada di sini satu hari atau dua hari atau tiga hari. Yang jelas saran saya pada Dubes jangan hanya membawa cabin bag,’’ tutur Marty.

Namun, ia mengakui bahwa dirinya menyarankan pada Duta Besar Nadjib Riphat Kesoema untuk tidak hanya membawa cabin bag saja.

Hal tersebut kontan diartikan bahwa Dubes Nadjib akan berada di Indonesia dalam waktu yang cukup lama. Sebab, yang hanya bisa masuk ke dalam kabin hanya koper dengan volume kecil. Ia menekankan pada Nadjib untuk dapat segera mungkin kembali ke tanah air.

Sebelumnya, media negeri kanguru tersebut memberitakan bahwa intelijen Australia melakukan penyadapan terhadap Indonesia.

Sayangnya berita tersebut hanya berakhir dengan pemanggilan dubes Australia di Jakarta oleh Kementerian Luar Negeri. Namun ternyata, berita penyadapan tersebut kembali dilansir dengan menyertakan nama-nama petinggi negeri ini dengan jenis handphone yang digunakan.

Berita tersebut kontan membuat pemerintah mengambil langkah tegas pemanggilan Duta Besar RI di Australia dalam waktu segera mungkin. Pihak Pemerintah Australia sendiri tidak melakukan pembelaan dengan menuntut atau melakukan penegasan terhadap media setempat.

Hal itu memunculkan dugaan bahwa bocoran mantan kontraktor intelejen Amerika Serikat, Edward Snowden itu benar adanya. ”Pemangilan Dubes untuk konsultasi tidak bisa dianggap ringan. Ini menunjukkan sikap tegas dan terukur,’’ tegas Marty.

Dalam jumpa pers kemarin, Marty berulang kali melontarkan sindiran terhadap penyadapan yang dilakukan Australia terhadap petinggi Indonesia. Marty mengatakan, bahwa saat ini bola untuk membawa hubungan kedua negara keluar dari krisis kepercayaan bilateral berada di tangan Australia.

’’Australia telah melanggar privasi individual, hak asasi manusia, dan melukai hubungan Australia-Indonesia,’’ tutup Marty.

Di samping memulangkan Dubes RI di Australia, Menkopolhukam Djoko Suyanto menambahkan, ada sejumlah langkah yang dilakukan Pemerintah Indonesia melalui Kemenlu.

Di antaranya, menghubungi Menlu Australia Julie Bishop untuk menyampaikan bahwa isu penyadapan tersebut, membawa dampak yang tidak baik terhadap hubungan bilateral Indonesia dan Australia.

Pemerintah Indonesia juga meminta Australia untuk menyampaikan official and public explanation serta komitmen untuk tidak mengulang lagi hal tersebut.

”Kita juga me-review seluruh kerja sama pertukaran informasi dan kerja sama lainnya dengan Australia serta mengkaji kerja sama pertukaran informasi antara Pemerintah RI dan Australia, termasuk penugasan pejabat Australia di Kedubes Australia di Jakarta,’’ tegas Djoko di Jakarta, kemarin.

Kemenkominfo menyatakan siap membantu Kemenlu dalam menyikapi tindakan penyadapan yang dilakukan Australia.

”Kami sejalan dengan Kementerian Luar Negeri, turut menyesalkan tindakan tersebut. Untuk langkah selanjutnya kami akan menunggu langkah-langkah berikutnya dari Kementerian Luar Negeri mengingat penanganan masalah tersebut leading sector-nya adalah Kementerian Luar Negeri,” kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo, Gatot S Dewa Broto, dalam keterangan resminya, kemarin.

Pihaknya mengaku prihatin dan sangat kecewa selain berdasarkan aspek hubungan diplomatik, juga karena mengacu pada aspek hukum sebab tindakan penyadapan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yaitu UU Nomor: 36/1999 tentang Telekomunikasi dan UU Nomor: 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pasal 40 UU Telekomunikasi menyebutkan, bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melaiui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.

Demikian pula Pasal 31 UU ITE menyebutkan ayat (1) bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan atau elektronik tertentu milik orang lain.

Ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu komputer dan atau dokumen elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apapun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan dan atau penghentian informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang sedang ditransmisikan.

”Memang benar, bahwa dalam batas-batas dan tujuan tertentu, penyadapan dapat dimungkinkan untuk tujuan-tujuan tertentu tetapi itu pun berat persyaratannya dan harus izin pimpinan aparat penegak hukum, sebagaimana disebutkan pada Pasal 42 UU Telekomunikasi. Demikian pula kemungkinan penyadapan yang dibolehkan dengan syarat yang berat pula yang diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE,” paparnya.

Ancaman pidana terhadap kegiatan penyadapan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU Telekomunikasi yaitu penjara maksimal 15 tahun penjara dan Pasal 47 UU ITE yaitu penjara maksimal 10 tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp800 juta.

”Memang benar, bahwa misi diplomatik asing dimungkinkan untuk memperoleh kekebalan diplomatik sebagaimana diatur dalam UU Nomor: 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri, seperti disebutkan pada Pasal 16. Tapi pemberian imunitas tersebut tidak boleh bertentangan dengan UU yang ada,’’ tegasnya.

Sehingga dalam hal ini, jika dugaan pelanggaran penyadapan oleh Australia melalui misi diplomatiknya telah dibuktikan, maka imunitas tersebut dapat dianggap bertentangan dengan UU yang berlaku.

Di bagian lain, pengamat hubungan internasional Hikmahanto Djuwana menilai bahwa tindakan pemerintah memanggil Dubes RI di Australia sebagai reaksi penyadapan, belum cukup tegas. Ia menuturkan, tindakan tersebut harusnya dilakukan ketika isu penyadapan tersebut pertama kali muncul.

”Belum tegas karena tindakan baru dilakukan saat ini. Padahal merebaknya masalah penyadapan sudah beberapa pekan,” tegas Hikmahanto.

Saat muncul isu penyadapan atas Presiden RI dan Ibu Negara, pemerintah seharusnya memberikan reaksi yang cukup keras.

Tidak sekadar memberikan ultimatum agar tindakan penyadapan tersebut tidak dilakukan lagi, melainkan melakukan pengusiran terhadap diplomat Australia.

”Dan juga diplomat AS. Dengan tindakan tegas ini Edward Snowden diharapkan tidak akan mempermainkan dan mempermalukan Indonesia dengan mengungkap sedikit semi sedikit dokumen yang dimilikinya ke media. Mengapa ketika sekarang muncul nama SBY dan Ibu Ani, pemerintah langsung reaktif, bukankan Indonesia milik rakyat Indonesia, bukan sekedar milik pak SBY dan ibu Ani,’’ imbuhnya.

Dua media Australia, situs radio ABC dan koran Guardian mengklaim memperoleh dokumen penyadapan itu mantan Kontraktor Badan Rahasia Nasional Amerika Serikat (NSA) Edward Snowden. Isi dokumen tersebut mengungkapkan Pemerintah Australia menyadap telepon Presiden SBY dan sejumlah pejabat pada 2009.

Di antaranya, Ibu Negara Ani Yudhoyono, Wapres Boediono, mantan Wapres Jusuf Kalla, mantan Jubir Presiden SBY Dino Patti Djalal dan Andi Malarangeng, mantan Menkeu Sri Mulyani, mantan Mensesneg Hatta Radjasa, mantan Menkopolhukam Widodo AS dan mantan Menteri BUMN Sofyan Djalil.

Dokumen itu juga menunjukkan intelijen Australia setidaknya sekali menyadap telepon SBY.  Selain itu, melacak aktivitas telepon genggam SBY selama 15 hari pada Agustus 2009.

Data tersebut berasal dari Agen Intelijen Elektronik Australia (Defence Signal Directorate sekarang Australia Signals Directorate).(ken/mia/gen/jpnn/fia)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook