JAKARTA (RP) - Satgas Perlindungan Anak Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, terkejut mengetahui pemberitaan tentang Adit, korban penyiksaan yang diduga dilakukan orangtuanya dan dibuang di daerah perkebunan kelapa sawit, daerah Tapung, Kampar, Provinsi Riau.
Dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (17/12), Kak Seto meminta pihak kepolisian segera mengambil tindakan hukum karena penganiayaan yang dialami Adit menurutnya sangat sadis.
‘’Karena digunting lidahnya, disiksa, ini perbuatan tidak benar, sangat-sangat sadis dan kekejaman luar biasa,’’ kata Kak Seto.
Menurutnya, kekerasan seperti yang dilakukan terhadap Adit tidak boleh dibiarkan. Terkait pendampingan psikologis terhadap Adit, Kak Seto meminta aktivis perlindungan anak di daerah baik kabupaten maupun provinsi di Riau untuk turun tangan melakukan pendampingan agar psikologis Adit kembali pulih.
Saat ini, katanya, Komnas PA juga tengah mendorong agar pemerintah mencanangkan program ‘’Stop Kekerasan terhadap Anak’’. Bahkan, untuk meransang timbulnya kepedulian masyarakat terhadap perlindungan anak, Komnas PA juga merintis Satgas Perlindungan Anak di tingkat RT/RW.
Sebab, bila semua kekerasan terhadap anak harus ditangani oleh Komnas PA maupun Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), maka masyarakat akan cuek dan acuh terhadap tindakan kekerasan pada anak di lingkungan mereka.
‘’Dulu Presiden Soeharto sudah berani mencanangkan perlindungan terhadap anak. Sekarang, di akhir pemerintahan Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, red), kita minta juga mencanangkan Gerakan Stop Kekerasan terhadap Anak, supaya kejadian serupa tidak terulang,’’ tegasnya.
Penyiksa Anak Biasanya Punya Riwayat Pernah Disiksa
Terkait dengan kasus ini, Master Psikologi Forensik pertama Indonesia, Reza Indragiri Amriel menilai pelaku penyiksa Adit juga pernah mengalami tindak kekerasan maupun pelecehan. Simpulan ini hasil temuan dari sekian banyak kasus kekerasan yang pernah diamati.
Dikatakan Reza, dalam menganalisa kasus ini perlu diamati faktor anak dan faktor pelaku. Tapi jika sebatas mengamati faktor pelaku, ada temuan bahwa sebagian pelaku kekerasan maupun pelecehan terhadap anak, ternyata juga punya riwayat pernah mengalami kekerasan/pelecehan. ‘’Jadi, dia (pelaku, red) seperti belajar bahwa cara ‘’mengasuh’’ anak memang dengan kekerasan,’’ kata Reza.
Namun, alumni Fakultas Psikologi UGM dan University of Melbourne, itu menganggap sebab-musabab terjadinya kekerasan terhadap anak tak lagi penting. Justru yang penting untuk dipermasalahkan warga di sekitar terjadinya kekerasan.
‘’Di mana orang, warga sekitar? Tidak ada yang tahu? Jika tahu, mengapa tidak melapor ke polisi? Kalau mereka diam, padahal tahu, mereka juga bisa diperkarakan,’’ kata Dosen di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian itu.
Kemudian, hak asuh atas anak itu bisa dicabut, lalu dipindahkan ke pihak lain yang lebih kompeten menjadi effective parent (orangtua yang bertanggungjawab).
‘’Nah, si pelaku bisa dijatuhi pidana. Jika ia adalah orngtua korban, maka ia dikenai pemberatan hukum,’’ tegas Reza yang pernah masuk 20 Akademisi Muda Top Indonesia itu.
Lalu apa cara paling efektif yang bisa dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan diri dan memulihkan psikologi Adit yang kini mengalami trauma berat? ‘’Obati luka fisik, rehabilitasi psikis, intervensi moral eksistensial-nya,’’ papar Reza.(fat)