Oleh: Bagus Santoso, Mahasiswa Ilmu Politik, Praktisi Politik dan Anggota DPRD Riau
RIAUPOS.CO - Salah satu alasan kenapa demokrasi harus mati-matian diperjuangkan, karena demokrasi adalah sarana konstitusional dalam proses mencari pemimpin amanah, sekaligus menjadi sarana paling ampuh memberikan penghukuman kepada pemimpin yang tidak mampu memenuhi janji-janji politiknya saat musim kampanye pemilu.
Dikatakan sarana lahirnya pemimpin amanah, karena dalam demokrasi setiap warga negara mempunyai hak yang sama berkompetisi menjadi pemimpin setelah memenuhi persyaratan regulasi yang mengaturnya. Dikatakan sarana penghukuman, karena musim pemilu adalah waktu paling tepat bagi rakyat menghukum calon pemimpin dengan tidak memilihnya.
Sekarang waktu terus berjalan mendekat kepada tiang eksekusi. Pemilihan dan penghukuman calon pemimpin negeri tinggal menghitung hari menuju 17 April 2019. Setelah mencermati dan memaknai antusiasme rakyat yang begitu masif di beberapa daerah menyambut calon pemimpinnya, jadi teringat video pendek Cak Nun (Emha Ainun Najib) yang mengatakan: “Kalau organisasi Islam ada yang bisa dibeli, anggota DPR bisa dipengaruhi, dan presiden bisa dikendalikan, maka jangan main-main dengan rakyat”.
Benar kata Cak Nun, karena ketika mayoritas rakyat sudah menginginkan perubahan, tidak ada lagi kekuatan yang mampu membendungnya. Gelombang perubahan yang terhembus dari napas rakyat (akar rumput) laksana gelombang tsunami yang akan meluluhlantakkan semua benda yang ada di depannya.
Tengoklah ke belakang ketika tahun 1998 arus pergerakan rakyat yang datang dari berbagai penjuru bagaikan raksasa lapar ingin menelan kantor DPR-RI Senayan menuntut reformasi. Begitu pula tahun 2017 ketika jutaan massa umat muslim yang terkenal dengan label aksi 212 menuntut perubahan di DKI Jakarta tak ada kekuatan yang mampu membendungnya.
Fenomena pergerakan rakyat (akar rumput) jelang pemilihan presiden serupa tetapi tidak sama dengan pergerakan massa menuntut reformasi tahun 1998. Serupanya karena semua melibatkan massa rakyat (akar rumput) menyuarakan harapannya. Dikatakan tidak sama, karena saat gerakan reformasi 1998 motor pergerakan massa rakyat adalah mahasiswa.
Sementara massa rakyat (akar rumput) yang datang berkumpul menyambut calon pemimpinnya menuju Pemilu 2019 tidak lagi mahasiswa menjadi motor penggeraknya, tetapi rakyat sendiri saling menginspirasi menuntut perubahan. Lebih menariknya lagi kaum emak-emak yang lebih identik dengan dapur, justru tidak jarang menjadi aktor utama berdiri paling di depan menyuarakan perubahan.
Apakah bangkitnya pergerakan massa rakyat menuntut perubahan bangsanya, pada masa kampanye tahun 2019 akan sama kekuatannya dengan massa reformasi dan massa muslim 212 jelang pilkada Jakarta ?. Kita tunggu saja dengan damai lahirnya pemimpin 17 April 2019 hasil pemilu yang akan menentukan nasib masa depan bangsa Indonesia hingga tahun 2024.***