PEKANBARU (RP) - Tak banyak pejuang dan saksi merebut kemerdekaan Republik Indonesia (RI) di Provinsi Riau yang masih hidup. Beberapa di antaranya Kolonel (Purn) H Abbas Djamil (87), H Radja Roesli dan Kolonel Inf (Purn) H Himron Saheman (86).
Bagi mereka, perjuangan merebut kemerdekaan di Bumi Lancang Kuning menumpahkan darah, menorehkan luka dan menyisakan duka.
Meski yang terbersit di pikiran para pejuang kala itu hanya satu, semangat untuk merdeka. Kini, saatnya bagi generasi penerus bangsa untuk melanjutkan perjuangan itu dalam bentuk lain, dan tentunya jangan melupakan sejarah.
‘’Satu harapan besar saya. Ingatlah, ‘Jas Merah’. Seperti yang diungkapkan founding father, Pak Soekarno. Jas Merah, jangan sesekali melupakan sejarah. Karena melupakan sejarah sama saja melupakan jati diri kita,’’ ujar H Abbas Djamil kepada Riau Pos, Jumat (16/8).
Abbas Djamil merupakan salah seorang pelaku sejarah perjuangan merebut kemerdekaan 68 tahun silam. Berbagai kisah dan getir perjuangan masih terbersit pada pria kelahiran 26 Juni 1926 itu. Mulai dari perjuangan merebut kemerdekaan, mengibarkan bendera Merah Putih di Bumi Lancang Kuning hingga mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari penjajah dilaluinya.
Abbas yang aktif dalam perang gerilya itu menceritakan detik-detik Proklamasi di Provinsi Riau. Meskipun dengan segala keterbatasan, bendera Merah Putih berhasil dikibarkan di Bumi Melayu Lancang Kuning.
‘’Kalau saya tidak salah, tepat tanggal 27 Agustus 1945 kami bersama beberapa pejuang dan angkatan muda PTT kala itu mengibarkan bendera Merah Putih tepatnya di Kantor PU di Jalan Ahmad Yani,’’ ungkap pria yang masih terlihat memiliki ingatan kuat tentang sejarah kemerdekaan.
Ia mengakui, pelaksanaan pengibaran bendera Merah Putih di Riau sedikit terlambat dibanding di Jakarta. Kondisi itu terkendala minimnya akses komunikasi dan informasi rencana memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia.
‘’Kita dapat informasi Indonesia sudah merdeka satu hari sebelum 27 Agustus 1945. Secara detail tentang proklamasi kita tidak tahu. Informasi yang ada, Jepang kalah dari sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom sekutu,’’ ungkap pria yang masih menyimpan beberapa peluru dan granat nanas sisa perjuangan dulu.
Informasi yang diterima dari Jakarta menjadi motivasi dan semangat para pejuang dan pemuda untuk memploklamirkan kemerdekaan di Pekanbaru. Terbersitlah rencana untuk membentuk organisasi dadakan dalam mempersiapkan dan mempertahankan kemerdekaan itu.
‘’Kita sudah siap-siap untuk memproklamirkan kemerdekaan. Maka terjadilah organisasi gelap, ada yang namanya ‘kucing hitam’ yang dipimpin Kolonel Polisi Tugimin, ‘harimau liar’ dan beberapa organisasi lainnya,’’ sambungnya.
Pada saat itu, Abbas yang sebelumnya menjadi anggota Heiho dipaksa kembali ke kampung halaman dan seluruh persenjataan ditarik sekutu. Tapi, tidak semua pejuang kembali ke kampung halaman. Abbas dan beberapa pejuang lainnya kembali ke Pekanbaru untuk bergabung dengan pejuang lainnya.
‘’Kami bersembunyi dan mencuri persenjataan Jepang. Dalam persembunyian, kami terus kucing-kucingan dengan penjajah. Kami banyak berhasil mencuri persenjataan, karena sewaktu bergabung di Heiho, saya sempat bertugas menjaga logistik Jepang,’’ kata pria yang masih terlihat bersemangat menceritakan kronologis perjuangannya.
Bahkan, lanjutnya, saat pengibaran bendera Merah Putih, tentara Jepang masih berkeliaran di Pekanbaru. ‘’Saya tidak tahu jumlah pastinya. Yang pasti mereka ditugaskan Sekutu untuk melakukan pengamanan di Riau. Kami juga tidak gentar dan terus menggelorakan semangat kemerdekaan di Riau,’’ tambahnya.
Namun, ia menilai kondisi sekarang masih belum seperti yang diharapkan. Masih banyak, bukti-bukti sejarah yang seakan dilupakan. ‘’Tidak perlulah merasakan pahit dan getir masa-masa perjuangan. Cukuplah kami yang merasakannya. Hanya saja, kami berharap hargailah jasa para pejuang dengan tetap melanjutkan perjuangan mengisi kemerdekaan dengan hal yang positif,’’ harapnya.
Selain itu, lanjutnya, rasa nasionalisme dan patriotisme juga harus terus dipupuk dan bina bagi generasi muda. Sehingga, mental-mental koruptor tidak lagi tumbuh di generasi Indonesia, khususnya di Riau.
***
Kondisi yang sama juga dirasakan pejuang dan saksi sejarah lainnya, H Radja Roesli. Saat itu, hanya berbekal semangat ingin merdekalah yang menjadi motivasi melawan penjajah.
‘’Kemerdekaan yang kita peroleh, hasil dari perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Begitu juga di Riau, saya bersama generasi muda seperti Abbas Djamil, Himron Saheman dan beberapa pejuang lainnya memberanikan diri melawan Belanda dan Jepang,’’ ujarnya.
Selama perjuangan melawan penjajah, pejuang telah memberikan jiwa dan raga. Begitu banyak, darah dan air mata yang tercurah dari cerita-cerita perjuangan yang mulai terkikis dengan kemajuan zaman.
Saat ditanyakan mengenai perjuangan di detik-detik kemerdekann, pria yang pernah menjadi Wali Kota Pekanbaru itu menceritakan kronologis yang tidak jauh berbeda dari keterangan Abbas Djamil. Dengan persiapan yang seadanya, para pejuang dan pemuda waktu itu tetap sepenuh hati mengibarkan bendera Merah Putih di Pekanbaru.
Kecemasan dan kekhawatiran tidak lagi menjadi kendala, meskipun Jepang masih berkeliaran di Riau. Lagi-lagi bekal itu bernama semangat ingin menjadi negara yang merdeka sudah menyatu dalam darah para pejuang kala itu.
Untuk itu, ia mengharapkan pemerintah dan generasi muda saat ini dapat menghargai jasa pejuang. Salah satunya dengan tidak melupakan sejarah sebagai jati diri bangsa.
‘’Zaman itu mesti dikenang. Saya bangga melihat kemajuan fisik saat ini. Kondisinya sangat berbeda dengan dahulu. Namun, secara mentalitas dan moralitas generasi penerus masih banyak yang melukai perasaan kita. Mudah-mudahan ada perbaikan ke depan. Salah satu caranya dengan menghargai sejarah dan meningkatkan rasa nasionalisme,’’ ungkap pejuang yang sesekali menyerukan kata-kata ‘’merdeka’’ dalam cerita sejarah yang disampaikannya.
***
Cerita yang tak jauh berbeda disampaikan Kolonel Inf (Purn) H Himron Saheman. Pria kelahiran Kedung Djenar, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, 8 Juli 1927 silam itu kembali mengisahkan masa-masa perjuangan merebut kemerdekaan kepada Riau Pos di kantornya Gedung Juang 45, Kamis (15/8).
Dikisahkan Himron, secara tak sengaja kapal yang dibawanya mendarat di Bengkalis tahun 1945. Sebenarnya, kapal Khasiwa Maru membawa logistik milik tentara Jepang ke Singapura.
‘’Singapura telah dikuasai pasukan sekutu. Ternyata Jepang telah kalah dalam Perang Dunia II pada 14 Agustus 1945,’’ kenang mantan Bupati Bengkalis periode 1974-1979 tersebut.
Selama beberapa hari, akhirnya kapal Khasiwa Maru menyusuri Sungai Siak dan berlabuh di Bom Lama (sekarang Pelita Pantai).
‘’Bagi kami waktu itu, Pekanbaru merupakan daerah baru karena selama ini hanya mendengarkannya saja,’’ tutur Himron yang pada waktu berlabuh ia sudah menjabat sebagai Masinis I dalam regu pelayarannya.
Di Pekanbaru, Himron muda bergabung dengan AM PTT (Angkatan Muda Pos Telegrap Telegram). Berita kekalahan Jepang di PD II itulah kemudian menjadi momen untuk melepaskan diri dari kekuasaan Jepang.
‘’Tapi waktu itu kami belum bisa bertindak karena Jepang masih menampakkan kekuasaannya. Apalagi Jepang diperintahkan Sekutu untuk menjaga keamanan di Indonesia sampai tentara mereka datang,’’ ujar Himron.
Berita proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, menurut Himron, saat itu sangat terlambat diterima daerah di luar Jawa. Bagi masyarakat Pekanbaru, berita Proklamasi pertama kali didengar pada 22 Agustus 1945 melalui telegrafis muda PTT Pekanbaru, Basrul Jamal.
‘’Namun Basrul Jamal belum berani mengungkapkannya, karena situasi di Pekanbaru saat itu masih dikuasai Jepang,’’ imbuhnya.
Pada 27 Agustus 1945, barulah Basrul Jamal dan para pemuda dalam AM PTT menyebarluaskan teks Proklamasi tersebut setelah ada kepastian dari orang-orang yang datang dari Sumatera Barat.
Mereka membawa pamflet-pamflet berisikan teks Proklamasi dan menerangkan tentang pengibaran Bendera Merah Putih di daerah Sumatera Barat.
Menurut Himron, setelah itu para pemuda PTT mengambil suatu kesepakatan, bendera Merah Putih harus segera dikibarkan di gedung PTT Pekanbaru yang sekarang merupakan Kantor Dinas PU Riau. Kain Merah Putih yang dijahit oleh Zalidar, yaitu kakak Basrul Jamal dijadikan bendera Merah Putih.
‘’Tepat pada tanggal 27 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi bendera Merah Putih dikibarkan pertama kali di Pekanbaru,’’ kenang Himron.
Namun sepanjang yang dikenang Himron, ketika para pemuda dan para undangan sudah berkumpul di tempat upacara, tiba-tiba seorang oknum polisi dari kantor kepolisian Jepang, Sake Israel mendatangi tempat upacara. Dengan tongkatnya ia memerintahkan agar segera membubarkan upacara karena upacara itu tidak ada izin dari kepolisian Jepang.
‘’Keadaan jadi kacau dan situasi berubah jadi panas,’’ kenang Himron. Perdebatan sengit pun tak terhindarkan antara Ketua AM PTT Basrul Jamal dengan oknum polisi itu.
Dalam kondisi seperti itulah kemudian datang seorang pemuda M Daniel Syah yang juga merupakan rekan Himron Saheman. Ia langsung naik ke atas atap gedung PTT dengan menggunakan tangga.
‘’Tanpa ada aba-aba dari bawah, ia langsung membuka kain selubung Merah Putih dan berkibarlah dengan gagah bendera Merah Putih di atas atap kantor PTT,’’ kenangnya.
Anehnya, kata Himron, juga tanpa ada aba-aba, berkumandang pula lagu kebangsaan ‘’Indonesia Raya’’ dari rekan-rekan dan para hadirin yang telah menyempurnakan barisannya. ‘’Lucunya, oknum polisi yang bengis tadi, tak kelihatan lagi batang hidungnya,’’ papar Himron.(rio/*6)