Model desentralisasi asimetris atau otsus terbentuk bisa akibat konflik/politik seperti di Quebec (Kanada), Mindanau Selatan (Filipina), Katalonia (Spanyol) dan Indonesia ( Papua dan Aceh). Otsus diberikan karena Kebudayaan seperti DIY, Pattaya (Thailan), Otsus juga bisa karena karakter wilayah atau perbatasan kepulauan serta faktor ibu kota negara.
Riau sebenarnya berhak atas otsus karena super istimewa. Kenapa? Sebab memiliki tiga potensi sekaligus. Riau istimewa bukan hanya memiliki kekayaan sumber daya alam seperti Papua dan Aceh tetapi juga faktor budaya dan karakter wilayah. Lalu apa karena Riau lebih santun sehingga Riau belum berhasil mengikuti jejak Aceh dan Papua. Riau memang belum memanggul senjata tetapi bukan berarti tak sanggup menarik pelatuk senjata.
Prof Syamsuddin Haris dalam bukunya berjudul Indonesia Di Ambang Perpecahan memberikan catatan khusus kasus di Riau dengan menunjukkan ada dua faktor yang berpengaruh terhadap menguatnya gugatan daerah terhadap pusat. Pertama, faktor internal, yaitu yang berkaitan langsung dengan kondisi faktual daerah. Sebagai wilayah yang sangat kaya, Riau ternyata tak bisa berbuat banyak dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Sebagian masyarakat masih tetap miskin. Demikian juga fasilitas sosial dan fasilitas umum yang dimiliki daerah tampak sangat tak memadai. Padahal kekayaan Riau telah disedot kepusat selama lebih 50 tahun. Yang kaya dan sejahtera hanya kelompok tertentu di pusat sementara di daerah hanya menjadi penonton yang tak berdaya.
Kedua, faktor eksternal seperti maraknya reformasi dan pergantian pimpinan. Harus diakui berkah reformasi juga membuka koridor transparansi membuat daerah semakin berani menyampaikan aspirasinya. Terlebih pada masa Presiden Habibie yang memberi opsi bagi Timor Timor, seolah semakin membulatkan tekat semua kelompok di daerah untuk bersama sama mendorong terus keinginan mendapat perlakuan yang adil.
Dalam perjalanannya Timor Timor bisa bebas merdeka, Aceh dan Papua sukses mendapatkan buah manis otsus. Riau setakat ini belum menampakkan tanda tanda berhasil. Akankah gerakan yang telah dirintis Presiden Riau Merdeka Prof Tabrani Rab, penggagas otsus Syarwan Hamid, Maimanah Umar, Alfitra Salam, dr Chaidir, Suradi Paijan, Azwin Yakub (alm) bakal disambut estafet oleh generasi muda cerdas dan militan putra Riau?.
Penulis pada tahun 2007 ikut menghadiri rapat di gedung juang utusan dari Kabupaten Bengkalis bersama Riza Pahlefi dan Dewi Angraeni. Setelah deklarasi pergerakan otsus seperti mati suri hanya sayup- sayup terdengar, apalagi setelah usulan untuk operasional otsus Rp10 miliar yang sudah disetujui oleh DPRD Riau di coret oleh menteri dalam negeri.
Penulis meyakini bagi masyarakat Riau otsus tidak hanya menjadi suatu keniscayaan, tetapi juga diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pembangunan serta kemandirian daerah. Akhirnya menjadi harapan kita semua perjuangan terus berkobar, jangan sampai kehabisan energi seiring kabar kian menipisnya cadangan minyak di bumi Riau negeri yang kita cintai.***