JAKARTA (RP) - Pemerintah khususnya Kementerian Kehutanan harus segera melakukan pemetaan ulang untuk memisahkan antara lahan atau hutan negara dengan hutan adat.
Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian dari permohonan Pengujian Undang-undang (PUU) nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sehingga mengembalikan eksistensi dan hak hutan adat.
Salah satu yang menggugat adalah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, Kabupaten Kampar, Riau.
Dalam sidang putusan perkara nomor 35/PUU-X/2012 yang dipimpin hakim ketua, Akil Mochtar, didampingi hakim konstitusi lainnya mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian, di gedung MK, Kamis (16/5).
Permohonan itu sendiri diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu.
Pemohon fokus pada pengujian pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat 3, pasal 5 ayat 1, 2, 3, dan 4, serta pasal 67 ayat 1, 2, dan 3, UU 41 tahun 1999 tersebut.
Dalam putusannya Akil membacakan bahwa kata “negara” dalam pasal 1 angka 6 bertentangan dengan UUD 1945. Kata “negara” dalam pasal 1 angka 6 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga pasal 1 angka 6 dimaksud menjadi Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
‘’Pasal 4 ayat 3 bertentangan dengan Undang-undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang undang,” ungkap Akil, dalam persidangan.
Pasal itu juga diputuskan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai penguasaan hutan oleh negara tetap memerhatikan hak masyrakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang Undang.
Soal eksistensi adanya hutan adat ditegaskan dalam pasal 5 ayat 1 sesuai putusan MK bahwa pasal ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, tidak termasuk hutan adat.
Putusan MK juga memperbaiki pasal 5 ayat 3 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan itu sehingga redaksionalnya menjadi Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1; dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
Sekjen AMAN, Abdon Nababan, selaku pemohon menyambut gembira putusan ini. “Putusan ini saya pikir sangat penting buat masyarakat adat seluruh Indonesia. Ini putusan paling tidak bisa memulihkan rasa kebangsaan yang selama ini sebelumnya sudah hampir putus,” kata pria asal Toba, Sumatera Utara, itu.(gen/jpnn)