PEKANBARU (RIAUPOS.CO)-Rencana pemerintah untuk membekukan izin perusahaan kehutanan yang terindikasi karhutla diprediksi berdampak pada gejolak sosial.
Pemerintah diharapkan memberi kesempatan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) untuk tetap beroperasi dan melaksanakan rehabilitasi penanaman pada lahan eks kebakaran yang ada di dalam konsesi. Hal itu untuk mencegah lahan menjadi areal terbuka yang kembali bisa menjadi sumber api. Pemerintah bisa melakukan pengawasan ketat agar pelaksanaan penanaman transparan.
“Sementara untuk areal dengan tingkat kerawanan sosial tinggi, kegiatan penanaman bisa dilakukan dengan kegiatan kemitraan antara masyarakat dengan perusahaan pemegang izin,” kata Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Rahardjo Benjamin saat bertemu dengan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman di Jakarta, Senin (14/12/2015).
Melalui rilis Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Rahardjo Benjamin kepada pers, Rabu (16/12/2015), pasca bencana kebakaran hutan dan lahan, pemerintah memang menghukum sejumlah perusahaan dengan membekukan izin usahanya meski kebakaran terjadi karena faktor eksternal berupa aktivitas di areal open akses dan areal yang dirambah. Akibat sanksi tersebut saat ini sekitar 1 juta hektare lahan tidak dapat dioperasikan. Sampai saat ini tidak ada kepastian kapan pembekuan izin dicabut meski perusahaan telah mengupayakan untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Selain sanksi pembekuan, pemerintah juga bereaksi dengan tidak mengizinkan penyiapan lahan baru untuk penanaman pada lahan gambut, sementara lahan eks kebakaran diambil alih pemerintah.
"Ketentuan ini rencananya akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Kebijakan Pemerintah tersebut dinilai telah menimbulkan ketidakpastian usaha dan ketidakpastian hukum bagi pemegang izin kehutanan yang telah berinvestasi sesuai dengan luasan areal dan masa konsesi izin," ujarnya.
Dampaknya sangat serius, berupa turunnya pasokan bahan baku industri, terutama serpih dan bubur kayu. Indikasinya pasokan bahan baku kayu dari hutan tanaman industri pada triwulan III 2015 sebesar 6,56 juta m3 turun 29 persen dibandingkan triwulan II 2015 yang sebesar 9,26 juta m3. Penurunan terjadi terutama dari daerah bencana kebakaran hutan dan lahan.
Kondisi tersebut menurutnya bisa berujung pada melemahnya kinerja ekspor, menurunnya devisa, perolehan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berakibat pada melemahnya perekonomian nasional. Penerimaan devisa dari industri pulp saat yang mencapai 5,6 miliar dolar AS dipastikan akan menurun tajam pada 2015 dan pada tahun-tahun mendatang.
"Dampak lanjutan lainnya adalah PHK karyawan serta pemutusan kontrak kerjasama dengan kontraktor dan suplier," tambahnya.
Saat ini terdapat sekitar 1 juta tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung yang terserap dalam kegiatan pembangunan hutan tanaman industri. Situasi tersebut bisa membuat keresahan meluas di kalangan karyawan dan masyarakat sebagai tenaga kerja langsung maupun tidak langsung yang berpotensi menimbulkan gejolak sosial di daerah yang terkena pembekuan dan pencabutan izin.
Sementara Ketua DPD RI Irman berharap Pemerintah lebih bijak dalam merespons bencana kebakaran hutan dan lahan. Menurut dia penegakan hukum jangan sampai berdampak pada berhentinya kegiatan operasional usaha kehutanan nasional.
"Industri kehutanan ini salah satu unggulan kita. Kalau terganggu bisa berakibat pada ekspor dan penyerapan tenaga kerja," kata Irman.
Dia menuturkan bencana kebakaran dipengaruhi banyak faktor termasuk fenomena el nino. Irman juga mengingatkan, kebakaran hutan dan lahan juga terjadi di negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia.
Laporan : Aznil Fadjri
Editor: Yudi Waldi