Dalam suasana akan menyambut hari raya Iduladha pun yang sebentar lagi akan datang, juga tidak kewajiban kita untuk hewan kurban dikaitkan dengan kambing berwarna hitam. Juga dalam pemilihan kuda pacu dalam situasi Asiam Games ke-18 di Jakarta dan Palembang. Tidak ada jaminan kuda berwarna hitam diduga memiliki kekuatan yang lebih baik sebagai kuda pacuan. Lalu mengapa kita masih sering terjebak dengan fenomena kambing hitam dan kuda hitam?
Dalam artikel ini memang penulis tidak akan mau mengajak pembaca untuk terjebak dalam bahasan yang tidak ada ujungnya. Siapa dan mengapa ada istilah kambing hitam maupun kuda hitam. Namun penulis akan mengajak para pembaca mencermati secara komprehensif. Sehingga nantinya kita tidak perlu lagi sibuk membahas siapa yang jadi kambing hitam dan siapa pula yang jadi kuda hitam. Singkatnya kita harus fokus kepada hal-hal yang lebih produktif.
Secara rasional tentunya jika manusia mau berpikir jernih mencari sebab-sebab sesungguhnya dari persoalan yang dihadapi, maka bangsa kambing tidaklah perlu menjadi kambing hitamnya para manusia tentunya ya. Kalau mau fair tentunya bangsa kambing juga boleh menggunakan istilah manusia hitam untuk hal yang dipersalahkan oleh sesama bangsa kambing. Ya, ini pembahasannya jadi melebar ke mana-mana ya. Kita harus balik ke laptop nih.
Begitu pula dengan istilah kuda hitam yang sering dipakai sebagai pihak pecundang, pihak penyalib, maupun pihak yang tidak diperhitungkan, namun sukses dan langkahnya tidak bisa diperhitungkan bagaikan bidak catur yang gerakan langkahya adalah L untuk bidak kuda tersebut. Dalam berbagai tulisan artikel disebutkan bahwa dianggap dan dipandang berbahayanya kedudukan dan langkah kuda hitam. Sehingga diperlukan langkah cerdik untuk suatu tindakan yang sering dikonotasikan sebagai tokoh politik yang tidak diduga dan tidak terlalu dikenal sebelumnya. Atau mungkin sudah dikenal namun pada saat yang tepat dan tidak dinyana-nyana dia muncul sehingga mengejutkan dan siapapun yang tidak menduga kemunculannya dan jadi pula. Lagi-lagi perlu ditegaskan, artikel ini tidak ada kaitannya dengan situasi politik saat ini. Ilustrasi ini, hanya untuk memperjelas tentang adanya kuda hitam dalam dunia nyata pastinya.
Lalu bagaimana sikap kita? Sebagai bangsa manusia tentunya kita dalam kehidupan dan penghidupan dalam dan antar manusia itu tentunya tidaklah perlu memberikan perumpamaan dengan melibatkan para hewan tersebut. Hewan kambing dan kuda, kalau bisa protes tentunya akan ajukan komplain. Berpikirlah secara waras dan keihklasan, dan tentunya dalam benak dan mind set kita, tidak akan ada yang namanya kambing hitam maupun kuda hitam.
Dalam dunia bisnis, juga sebenarnya bilamana ada yang dijadikan kambing hitam maupun ada yang jadi kuda hitam, maka bisnis yang diperoleh biasanya tidak akan berproses dalam jangka panjang. Bilamana dalam dunia bisnis ini dijalankan dengan etika bisnis yang menggambarkan harmonisasi, maka kita akan menikmati bisnis itu bukan lagi sebagai suatu kancah persaingan yang saling mematikan, namun sebagai bentuk sinergi bisnis yang saling berbagi secara fairness.
Jadi selanjutnya biarkanlah bangsa kambing dan kuda bisa hidup tenang, dan tidak dihitamkan lagi. Bisnis beretika tidak sekadar memberikan manfaat namun juga keberkahan.***