JAKARTA (RP) - Insiden yang terjadi saat pawai taaruf dan pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) XXXII Riau, mulai dari Wakil Gubernur Riau HR Mambang Mit ditolak bersalaman oleh Bupati Rokan Hulu Achmad MSi hingga tak diberi tempat duduk di tribun kehormatan, mendapat perhatian dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Kemendagri menilai insiden yang menyita perhatian para tamu undangan dan masyarakat luas itu semestinya tak boleh terjadi.
Jangan sampai tempat duduk seorang pejabat sekelas Wakil Gubernur Riau tak tersedia, apalagi dilakukan secara sengaja.
Untuk itu, Kemendagri meminta protokoler di lingkungan Pemprov Riau maupun di Kabupaten Rokan Hulu dan juga kabupaten/kota lainnya agar ke depan lebih profesional dalam menyelenggarakan kegiatan yang berkaitan dengan pemerintahan.
Hal itu diungkapkan Kapuspen Kemendagri Restuardy Daud menyikapi insiden tersebut.
‘’Seyogyanya sebagai seorang wakil gubernur, tempat duduknya harus disediakan sesuai mekanisme yang ada di protokoler. Protokolernya harus lebih profesional dalam menjalankan tugasnya, jangan sampai kejadian seperti itu terulang lagi,’’ kata Restuardy di Jakarta, Kamis (15/8).
Dia meminta, tata pemerintahan di Riau tetap berjalan sesuai koridornya. Baik antara provinsi dengan kabupaten/kota. Begitu juga kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya.
‘’Kita berharap penyelenggaran pemerintahan daerah agar selalu menjaga hubungan baik dan bersinergi. Apalagi Riau saat ini tengah menghadapi Pilkada 4 September mendatang,’’ pinta Restuardy.
Achmad Tak Persoalkan Pernyataan Mambang
Di bagian lain, Bupati Rokan Hulu (Rohul) Drs H Achmad MSi tak mempersoalkan pernyataan Wakil Gubernur HR Mambang Mit saat pelaksanaan MTQ XXXII Provinsi Riau, Rabu (14/8).
Menurut Achmad, sebagai panitia daerah dirinya lebih fokus bagaimana iven tahunan Provinsi Riau yang dihelat di Rohul bisa berjalan sukses.
Pada MTQ Riau Gubernur HM Rusli Zainal SE MP telah mengeluarkan disposisi kepada Sekdaprov Riau H Zaini Ismail untuk mewakili dirinya.
Terhadap alasan mengapa bukan Wagubri HR Mambang Mit yang didisposisi Gubri, ia mengatakan, Sekdaprov Riau Drs H Zaini Ismail MSi telah menjelaskan.
Menurut Zaini, saat ini Wagubri HR Mambang Mit sedang sibuk sosialisasi sebagai calon Wagubri yang akan bertarung pada Pilgubri 2013.
Zaini kepada wartawan usai melantik Dewan Hakim MTQ Riau juga sudah menjelaskan, tidak ada unsur politis Gubri menunjuk dirinya dan bukan Wagubri. Semuanya semata-mata demi suksesnya MTQ Riau tahun ini.
Achmad menambahkan, dengan ditunjuknya Sekdaprov Riau sebagai pengganti Gubri, nama Wagubri HR Mambang Mit tidak ada dalam daftar tamu undangan. Dan persoalan itu bukan kewenangan panitia daerah.
Namun demikian, lanjutnya, karena tiba-tiba pada saat pembukaan pawai taaruf Mambang Mit muncul di tempat acara, dirinya dipersilakan duduk di barisan depan di samping kanan Ketua DPRD Riau Drs Djohar Firdaus.
Lalu, mengenai dirinya yang dituding tidak mau bersalaman dengan Mambang Mit, Achmad menyatakan kondisinya sangat situasional.
Selanjutnya, pada pembukaan MTQ Riau Rabu malam, insiden kembali terulang. Ketika acara sudah dimulai persisnya di saat menyanyikan lagu ‘’Indonesia Raya’’ dan semua kursi Very-very Important Person (VVIP) sudah terisi penuh, Wagubri HR Mambang Mit tiba di tempat acara.
Usai menyanyikan lagu ‘’Indonesia Raya’’, semua undangan kembali duduk di kursi masing-masing dan di saat itu Wagubri tiba-tiba meninggalkan tempat acara.
Maswadi: Jangan Ada Permusuhan
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Maswadi Rauf menegaskan, politik itu mengandung persaingan, perbedaan pandangan, bahkan mengandung perselisihan. Namun semua perbedaan itu harus dihindarkan berakhir dengan permusuhan.
‘’Perbedaan harus ada. Pasti ada dalam dunia politik. Tapi jangan sampai jadi permusuhan. Ini yang harus ditanamkan pemimpin pada masyarakatnya,’’ kata Maswadi kepada Riau Pos malam tadi di Jakarta.
Dikatakannya, sehebat apapun seorang pemimpin dia tetap harus memperlihatkan persahabatan. Apalagi dia seorang pemimpin beragama Islam.
Kalaupun ada persaingan politik antara Mambang Mit dengan Achmad yang akan bertarung dalam Pilkada Riau September mendatang, ditegaskan Maswadi hal itu tidak boleh jadi alasan putusnya hubungan silaturahmi antara keduanya.
Dalam Islam, lanjutnya, juga disebutkan silaturahim tidak boleh putus. Apalagi oleh politik. Berjabat tangan itu salah satu bentuk silaturahim, bahkan bisa dikatakan kewajiban setiap muslim setiap bertemu setelah mengucapkan salam.
Putra Riau yang menjadi Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Indonesia ini menilai apa yang dilakukan Bupati Rohul dengan tidak mau menjabat tangan Wakil Gubernur Riau, bukanlah contoh yang baik. Apalagi pemimpin itu teladan masyarakat.
‘’Jadi kalau satu sudah mengulurkan tangan, satu tidak menyambut, saya pikir ini bukan sikap atau bukan perbuatan yang mendidik secara baik bagi masyarakat, terlepas dari apapun alasannya itu oleh pihak yang tidak menyambut,’’ tegasnya.
Sebagai orang Riau yang jadi akademisi di Jakarta, Maswadi Rauf berharap insiden ini bisa menjadi pelajaran berharga yang bukan untuk dicontoh oleh masyarakat Riau. Juga bisa dijadikan kriteria bagi masyarakat Riau untuk menentukan siapa pemimpinnya.
Sementara itu, pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Hasan Hasani mengatakan, perihal berjabat tangannya dua orang pejabat pemerintah tidak diatur dalam hukum tata negara. Namun persoalan itu lebih pada etika politik.
Hal ini dikatakan Hasan Hasani menanggapi ‘insiden kecil’ tak disambutnya jabatan tangan Wakil Gubernur Provinsi Riau HR Mambang Mit oleh Bupati Rokan Hulu, Achmad, di hadapan masyarakat saat pembukaan MTQ Provinsi Riau tahun 2013 di Rohul yang kini jadi gunjingan masyarakat.
‘’Ini agak sulit kalau dianalisa secara hukum tata negara. Saya kira ini lebih pada etika politik. Seorang pemimpin mestinya menunjukkan keharmonisan di tengah masyarakat karena pemimpin itu menjadi figur publik yang tentu perilakunya jadi panutan publik,’’ kata Hasan di Jakarta.
Dalam tatanan pemerintahan keduanya adalah birokrat sekaligus menyandang jabatan politis. Nah, ketika salah satu di antara keduanya menolak berjabat tangan dengan alasan politik, Hasan menyebut yang bersangkutan tidak patuh pada etika politik.
Etika politik, kata Hasan, tidak ada kerangka hukum. Itu wilayah etika, sehingga hukuman yang diperoleh bupati adalah sanksi sosial, non politik.
‘’Karena itu dilakukan di hadapan publik, maka publik akan menilai ada arogansi yang kentara ketika seorang pejabat tidak menyambut jabat tangan pejabat lain,’’ jelasnya.(epp/yud/fat)