25 TAHUN PERJUANGKAN TANAH ULAYAT

Tetua Adat Inhu Curhat dengan Bercucuran Air Mata

Riau | Jumat, 14 Oktober 2022 - 21:15 WIB

Tetua Adat Inhu Curhat dengan Bercucuran Air Mata
Ketua LAMR Inhu Datuk Seri Marwan MR (dua dari kiri) bersama Datuk Setio Kamaro Zulkifli dan Kuasa Hukum LAMR Inhu Mufid Abdillah (paling kanan) saat memberikan keterangan pers di Pekanbaru, Jumat (14/10/2022). (HENDRAWAN KARIMAN/RIAUPOS.CO)

BAGIKAN



BACA JUGA


PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Tetua adat asal Indragiri Hulu (Inhu), Zulkifli sudah tidak tahan lagi. Pria bergelar adat Datuk Setio Kamaro ini ingin mencurahkan derita masyarakatnya, suku Talang Darat Japura, yang berasal dari Kecamatan Lubuk Batu Jaya, Inhu. Sudah 25 tahun mereka memperjuangkan Tanah ulayat yang dikuasai perusahaan.

Sejak keluar izin pada 1997, sengketa tanah ulayat masyarakat Lubuk Batu Jaya, yang dulu sebuah desa tidak pernah surut. Karena yang diambil perusahaan adalah kebun siap panen, bahkan kuburan nenek moyang mereka pun di tanah itu diratakan.


''Sekarang, akses jalan utama masyarakat malah dipasang portal, kami tidak boleh lewat. Padahal itu jalan yang sudah kami tempuh mulai zaman nenek moyang kami ratusan tahun lalu,'' ungkap Zulkifli yang menemui belasan wartawan di Pekanbaru pada Jumat (14/10/2022).

Zulkifli yang juga Ketua Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Kecamatan Lubuk Batu Jaya hadir didampingi Ketua LAMR Inhu Datuk Seri Marwan MR. Turut hadir mendampingi, Kuasa Hukum LAMR Inhu yang mendapat kuasa dari masyarakat adat Lubuk Batu Jaya untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Lahan seluas sekitar 3.000 ha itu sendiri kini status quo, namun hanya mereka yang tidak bisa beraktivitas di sana. Bahkan peringatan dari dinas kehutanan yang dipasang di sana pun raib.

Permasalahan sengketa ini muncul ketika pada 1997 sebuah perusahaan menggarap lahan perkebunan masyarakat dengan membawa surat izin. Hanya saja, dalam izin tersebut disebutkan bahwa wilayah yang diberi izin itu adalah wilayah Desa Simpang Kota Medan. Sementara yang digarap adalah wilayah Desa Lubuk Batu.

''Ada banyak perusahaan di sekeliling desa kami, tapi tidak ruwet, karena mereka ikuti aturan. Tapi yang ini, sejarah kampung kami dihilangkan, diganti nama jadi Simpang Kota Medan. Padahal Kades Simpang Kota Medan sudah datang ke kami memastikan itu bukan wilayah desa mereka,'' kata Zulkifli.

Bahkan Dinas Kehutanan Inhu  pada 1997 silam sudah menyebutkan bahwa itu wilayah Lubuk Batu. Bukan Simpang Kota Medan seperti dalam izin.

''Selama puluhan tahun kami berjuang, sudah kami temui mulai camat sampai gubernur. Kami patuh dan taat kepada pemerintah. Hingga pada 2001 ada kesepakatan agar tidak saling menanam, status quo, namun mereka menanam, bahkan memasang portal,'' ujarnya dengan suara mulai terbata-bata.

Zulkifli merasa hak mereka sebagai masyarakat tidak diperhatikan. Tanah mereka diambil, tapi seperti tidak ada yang membela. Dia juga memastikan bahwa lokasi lahan yang diduduki perusahaan itu saat ini adalah Batan Mentimun, sebuah dusun  permukiman bagian dari wilayah Lubuk Batu.

''Di mana lagi kami mau mengadu, di mana sebenarnya keadilan ini. Di mana Presiden Jokowi, di mana Menteri Kehutanan. Kami sudah lelah, kebun sawit kami dirampas  kami dilaporkan ke Polda. Tolonglah Pak Jokowi, kami perlu hidup, kami juga ada hak. Kami merah putih di sini, tapi kami kenapa diperlakukan seperti ini,'' ungkapnya emosional sambil bercucuran air mata.

Sementara itu Ketua LAMR Inhu Datuk Seri Marwan MR mengatakan, lahan sengketa tersebut memang permukiman masyarakat Adat Talang Darat Japura, penduduk asli Lubuk Batu. Masyarakat adat di sana bahkan sudah bertanam sawit di antara lahan seluas 3.000 ha tersebut.

''Mereka adalah masyarakat adat Talang Darat Japura. Mereka sudah mukim di sana jauh sebelum perusahaan tersebut mendapat izin, jauh sebelum ada Undang-undang Kehutanan, jauh sebelum Indonesia Merdeka. Ada tanda-tanda kehidupan di sana, ada tanah ulayat di sana bahkan ada makam di sana,'' kata Marwan.

Masyarakat Talang Darat Japura menurut Marwan pada masa lalu pola hidupnya hampir sama dengan suku Sakai di Minas. Mereka buka lahan, berladang, lalu pindah untuk buat baru lagi. Pola demikian terus selama beratus tahun dan masih di kawasan yang sama, yang kemudian diberi nama Desa Lubuk Batu dan belakangan berkembang menjadi kecamatan.

''Kami berharap masyarakat mendapatkan haknya sesuai aturan yang berlaku. Kami akan mendorong permasalahan ini dilanjutkan dan diusulkan penyelesaiannya melalui UU Cipta Kerja,'' kata Marwan.

Apalagi, lanjut Marwan, sudah keluar SK dari Menteri KLH Nomor 652/MLHK/SETJRN/KUM.1/2021. Surat itu sudah pula disusul Surat KLHK No: S.15/SETJRN/SATLAKWASDALUUCK/7/2022. Marwan berharap perjuangan mereka mencari keadilan diperhatikan dan dikawal pemerintah dan komunitas masyarakat sipil.

 

Laporan: Hendrawan Kariman

Editor: Edwar Yaman

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook