Sebagaimana kematangan berpikir dan kedewasaan bersikap seseorang tidak ditentukan oleh umurnya. Pemimpin visioner yang dimaksud dalam tulisan ini adalah “pemimpin yang memiliki visi jauh ke depan melampaui masanya”. Bekerja untuk kemakmuran bangsanya ke depan, bukan untuk kepentingan sesaat diri sendiri dan kelompoknya.
Dalam lembaran sejarah, tercatat dengan tinta emas contoh pemimpin visioner yang pernah dimiliki oleh republik ini. Sebut misalnya Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, dan beberapa bung-bung yang lainnya. Mereka semua mengeluarkan keringat bahkan darah untuk menggali pondasi tempat berdirinya bangunan rumah besar yang bernama Indonesia merdeka.
Harapan mereka hanya satu, mewariskan rumah yang kokoh kepada anak cucunya kelak. Ada tempat berlindung dari panasnya sinar matahari, ada tempat berteduh ketika hujan badai melanda. Anak cucunya dapat hidup sehat duduk berdampingan, bergadengan tangan, tumbuh kembang menata masa depannya penuh warna-warni budaya.
Pemimpin visioner tidak disiapkan apalagi ditunjuk, tetapi mempersiapkan diri secara sistematis setelah melewati proses kematangan di lingkungan sosialnya. Ia tidak dituntun tetapi dilepas mengembara mencari kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritualnya. Empat kecerdasan ini penting, karena hanya pemimpin yang memiliki empat kecerdasan ini yang bisa melahirkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat.
Bung Karno dan angkatannya, adalah aktivis dan pemimpin organisasi kepemudaan yang ditempa oleh lingkungan sosial yang dikoptasi (dikurung) oleh bangsa asing. Ia harus terus menggeliat kepermukaan untuk menyebarkan virus “perasaan kolektivitas sosial”. Sejenis perasaan yang memiliki nasib dan tanggung jawab serta nilai-nilai moral yang sama untuk selalu bersatu berjuang melepaskan diri dari penjajah bangsa asing.
Kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang melahirkan pemimpin visioner era Bung Karno, serupa tetapi tidak sama dengan kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan politik bangsa sekarang.
Dikatakan serupa, karena sama-sama dijajah atau ditekan oleh suatu kekuatan besar yang menginginkan republik ini tidak berdiri kokoh, bahkan kalau perlu hilang dari peta dunia.
Dikatakan tidak sama, karena zaman Bung Karno semua dimensi dijajah oleh bangsa asing, tetapi sekarang yang dijajah hanya ekonomi kita oleh kapitalisme global berselingkuh kapitalisme lokal dan sebagian elite politik.
Dari lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tertekan ini, mestinya republik bugar ini melahirkan kembali pemimpin visioner yang mampu membangun pondasi ekonomi dan politik yang kuat.
Pondasi ekonomi yang kuat diperlukan untuk menahan liberalisme ekonomi yang terbukti hanya akan menghancurkan ketahanan pangan kita, sementara pondasi politik yang kuat dibutuhkan sebagai perisai menangkis serangan ideologi dari luar yang berpotensi merusak keutuhan negara kesatuan.
Namun entah apa yang terjadi di rupublik ini, disaat rakyat mencari pemimpin visioner menjelang Pemilu 2019 muncul lagi perdebatan publik perihal penting atau tidak penting seorang calon presiden memaparkan visi misinya. Kita pakai logika sederhana sekalipun, seorang pemimpin dari tingkatan paling bawah (RT) sampai tingkatan paling tinggi (presiden) sejatinya harus memaparkan visi misinya di depan rakyatnya, agar rakyat bisa memahami ke arah mana mobil besar bernama Indonesia ini hendak diarahkan.
Karena itu, tulisan singkat ini ditutup dengan mengutip pendapat analis kepemimpinan dunia Leroy Eims yang mengatakan “Seorang pemimpin adalah seorang yang melihat lebih banyak dari pada yang dilihat orang lain, yang melihat lebih jauh dari pada yang dilihat orang lain, dan yang melihat sebelum yang lainnya melihat”.
Kurang lebih maknanya seorang pemimpin harus visioner yang mempunyai suatu pandangan visi misi yang jelas, cerdas dalam mengamati suatu kejadian di masa depan dan dapat menggambarkan visi misinya dengan jelas kepada rakyatnya.***