Silpa Riau Rp1,9 Triliun

Riau | Selasa, 13 Agustus 2013 - 08:55 WIB

Laporan MARRIO KISAZ,Pekanbaru marriokisaz@riaupos.co

Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa) Pemerintah Provinsi Riau menembus angka Rp1,9 triliun dari Rp8,4 triliun APBD 2013. Angka ini berdasarkan hasil kalkulasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) baru-baru ini.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Silpa tersebut tidak mengalami perubahan signifikan dari tahun sebelumnya, yakni Rp1,8 triliun. Silpa itu nantinya akan digunakan untuk keperluan yang sifatnya mendesak.

Hal itu disampaikan Asisten III Setdaprov Riau, Hardy Djamaluddin kepada Riau Pos, Senin (12/8) di Pekanbaru. Menurutnya, alokasi dana tersebut sudah dapat diprediksi menjelang akhir tahun penggunaan anggaran. ‘’Ya kalkulasi Silpa tahun ini mencapai Rp1,9 triliun. Angka tersebut sudah final, karena berdasarkan hasil evaluasi BPK,’’ paparnya.

Saat ditanyakan mengenai peruntukan dana tersebut, ia mengatakan alokasi dana itu digunakan untuk beberapa keperluan mendesak. Seperti pembayaran utang proyek multi years dan beberapa program lainnya.

Mekanisme penentuan dan peruntukan dana tersebut akan dimasukkan dalam APBD perubahan. Pembahasan itu akan dilakukan dalam waktu dekat ini menunggu penjadwalan di DPRD Riau.

‘’Usulan APBD perubahan sudah kita susun dan dirampungkan. Tinggal pembahasan dan pengesahan di DPRD saja. Kalau kita hanya bisa menunggu,’’ ungkap mantan Kepala Biro Keuangan Setdaprov Riau itu.

Saat ditanyakan mengenai target finalisasi acuan penggunaan anggaran tersebut, ia mengatakan hal tersebut tergantung kesiapan legislatif. Diharapkan, pembahasan dapat rampung September, sehingga dapat digunakan pada bulan itu atau Oktober mendatang.

‘’Sebelum Idul Fitri sudah kita serahkan ke dewan. Mudah-mudahan dapat segera disahkan, agar dapat direalisasikan secepatnya,’’ ungkap Chairman ACFE Indonesia Riau Region itu.

Lebih jauh saat ditanyakan mengenai besaran nominal APBD perubahan, dia mengaku tidak hafal secara terperinci. Hanya saja, dia memberikan gambaran perubahan dilakukan karena adanya beberapa pergeseran anggaran yang harus diperbaharui.

‘’Untuk APBD perubahan kan tidak boleh ada program yang baru, hanya melanjutkan atau lebih ke pergeseran. Untuk itu, kita lebih banyak pada pembayaran kewajiban provinsi, utang multi years, DBH dan beberapa porsi anggaran lainnya,’’ sambung Hardy.

Sementara itu, pengamat ekonomi Riau, Prof Isyandi menilai, Silpa Riau sebesar Rp1,9 triliun merupakan gambaran tidak optimalnya kinerja aparatur pemerintah. Kondisi tersebut secara tidak langsung dapat berimbas pada optimalisasi kinerja dan pelayanan publik.

Untuk itu, solusi yang diperlukan adalah melakukan reschedule anggaran atau mengulangi penyusunan anggaran daerah. Upaya tersebut diharapkan dapat berperan positif dalam menggesa realisasi keuangan hingga akhir tahun mendatang.

‘’Sebenarnya alokasi anggaran itu idealnya berbasis perencanaan. Sementara perencaan dilakukan berdasarkan keperluan. Kalau ini dasar yang dilakukan, Insya Allah penerapan realisasi anggaran dapat lebih maksimal,’’ tegasnya.

Direktur Pasca Sarjana Universitas Riau itu menambahkan, kondisi tersebut disebabkan dari beberapa faktor. Seperti adanya kendala dalam proses pencairan anggaran, selain itu warna-warna politik dalam pemerintahan juga dapat mempengaruhi realisasi anggaran.

‘’Pada dasarnya secara teoritis manajemen keuangan merupakan turunan dari manajemen pemerintahan. Artinya, kekosongan jabatan sekretaris daerah beberapa waktu lalu dan proses perpindahan jabatan kepala SKPD juga dapat mempengaruhi tingginya Silpa,’’ papar Isyandi.

Dengan kondisi itu, ia mengimbau agar jenjang karir dalam instansi pemerintahan disesuaikan dengan kapasitas diri. Selain itu, kepala SKPD juga diberikan kesempatan untuk merealisasikan program yang telah diamanahkan dalam APBD.

‘’Kalau sudah terjadi perubahan pimpinan Satker, tentunya terjadi perubahan PPK dan PPTK. Kondisi ini secara tidak langsung juga berimbas pada capaian keuangan,’’ ungkap praktisi yang kerap menjadi pembicara dalam seminar ekonomi tersebut.

Disinggung mengenai efisiensi yang maksimal menjadi alasan tingginya angka Silpa, dia menegaskan bukanlah indikator yang tepat. Pasalnya, efisiensi diperoleh jika capaian dilaksanakan secara maksimal dan menghasilkan sisa anggaran. Sementara Silpa terjadi karena adanya realisasi yang tidak maksimal, padahal alokasi dana tersedia.

Solusi untuk permasalahan itu, dia memberikan tiga solusi. Yakni, memperkokoh sendi-sendi pemerintahan, adanya jaminan kelancaran dalam memperoleh barang dan jasa serta proses reschedule anggaran yang dipercepat. ‘’Kalau tiga poin itu menjadi perhatian, angka Silpa di instansi pemerintahan dapat diminimalisir,’’ ungkap akademisi dari Fakultas Ekonomi Unri itu.(esi)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook