KAMPAR (RIAUPOS.CO) - Lebih tiga tahun lalu, Maswardi masih nampak gagah dengan seragam Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Kampar.
Tapi penampilan gagah itu cuma bertahan lima tahun. Pegawai honorer di Pemkab Kampar ini akhirnya memutuskan untuk menyimpan seragam itu selamanya dan menggantinya dengan pakaian sederhana.
‘’Saya memilih jadi peternak sapi saja. Sebab saya merasakan bahwa masa depan saya ada di sini dan lebih menjanjikan,’’ ujar ayah satu anak ini dalam sebuah perbincangan di komplek kelompok peternak sapi Bukit Batang Potai di Bukit Injin Penyesawan Selatan Desa Penyesawan Kecamatan Kampar, beberapa hari yang lalu.
Semula kata Wardi, dia cuma punya modal dua ekor sapi yang dipeliharanya sendiri. Namun sekitar lebih 3 tahun lalu, ada program pengembangbiakan sapi sarjana masuk desa (SMD) yang dibuat pemerintah pusat.
Wardi pun bergabung dengan kelompok yang dikomandani oleh Muhammad Lubis.
Saat itu, kelompok ini kebagian 43 ekor sapi plus kandang. Sebanyak 24 ekor betina, sisanya jantan. Dari sinilah kemudian Wardi mulai merasakan perubahan hidup. Dengan penghasilan bersih sekitar Rp2 juta per bulan, Wardi sudah bisa bikin rumah berukuran 5x6 meter.
Perabotan rumah dia lengkapi, plus sepeda motor baru. Pas istrinya yang mau melahirkan harus dioperasi, Wardi tak kelimpungan.
‘’Alhamdulillah, saya dikasi rezeki oleh Allah. Kalau saya masih terus bertahan sebagai pegawai honor, barang kali sampai sekarang saya masih tinggal di rumah orang tua,’’ katanya tertawa.
Tak hanya Maswardi yang ekonominya mulai membaik dari hasil ternak sapi itu. Tapi semua anggota kelompok yang kini tersisa 7 orang. Arpi Putra (34) misalnya juga sudah bisa membeli tanah seluas 20x25 meter.
Di atas lahan itu, dia bisa mendirikan rumah berukuran 9x25 meter plus sepeda motor baru.
Selama 3 tahun lebih usaha peternakan sapi itu kata Muhammad Lubis, mereka berhasil menjual sekitar 80 ekor sapi jantan. Harga jual per ekor antara Rp8,2 juta hingga Rp9,5 juta.
Lalu, tiap bulan kelompok ini bisa menambah pundi-pundi Rp8 juta dari air kencing sapi-sapi itu. ‘’Sekarang kami masih punya 68 ekor. Belum termasuk 3 ekor pejantan,’’ Lubis merinci.
Sapi-sapi jenis bali dan brahman itu kata Lubis, digembalakan di lahan seluas dua hektare. ‘’Kami juga punya hijauan makanan ternak (HMT) seluas 4 hektare. HMT ini kami rawat dengan biaya Rp2,5 juta per hektare,’’ ujarnya.
Sebab kata Lubis, satu hektare HMT hanya cukup untuk 8-10 ekor ternak. Lantas, supaya nilai tambah meningkat, Lubis dan kawan-kawan juga sudah akan mengintegrasikan komplek peternakan mereka itu dengan tanaman hortikultura semacam cabai ataupun bawang merah.
Termasuk nilai tambah lain seperti kompos. ‘’Selama ini kami sudah diajari oleh Dinas tentang tata cara bikin kompos. Dan sebenarnya kami sudah ada tawaran kontrak 1.000 karung per bulan. Tapi lantaran kompos masih kami manfaatkan sendiri untuk HMT, sementara kontrak itu tak kami ambil,’’ kata Lubis.
Meski ternak yang ada sudah lumayan, Lubis dan kawan-kawan justru masih berupaya terus mengembangkan peternakan yang selama ini diasuh oleh Dinas Pertanian dan Peternakan itu kini sudah berubah menjadi Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan tapi mereka terkendala dengan bibit sapi penggemukan yang harganya lumayan mahal. Antara Rp5,7 juta hingga Rp7,8 juta.
Cokroaminoto yang saat itu masih menjabat Kadis Pertanian dan Peternakan mengaku akan berupaya mencarikan solusi untuk misi Lubis dan kawan-kawan.
‘’Intinya kita akan terus melakukan pembinaan. Yang belum ada usaha saja kita bina supaya bisa berusaha, apa lagi yang sudah ada kayak gini,’’ kata Cokro.
Bupati Kampar Jefry Noer, mengaku simpati dengan pilihan yang dibikin oleh Maswardi yang lebih memilih ‘’bercengkrama’’ dengan kotoran sapi dari pada menjadi pegawai honorer di Pemkab Kampar.
‘’Inilah anak muda yang benar-benar berjiwa entrepreneurship itu. Lantaran ingin sejahtera, dia memilih jadi pengusaha,’’ ujar Jefry.(adv/b)