Oleh: Dr H Irvandi Gustari, Dirut Bank Riau Kepri
PADA 1990-an, banyak pihak tidak menyangka, bahkan tidak yakin air putih yang bisa didapatkan di mana-mana kelak akan menjadi berbayar dalam bentuk kemasan. Ternyata dua atau tiga tahun kemudian air putih yang selama ini gratis sudah diperjualbelikan di berbagai supermarket dalam bentuk kemasan. Begitulah yang terungkap pada buku The Borderless World ( Dunia tanpa Batas) karangan Kenichi Ohmae yang terbit pada 1991. Itulah contoh awal globalisasi yang tidak kita sangka-sangka. Banyak muncul kejadian di luar konteks pemikiran awam.
Baru-baru ini muncul lagi suatu kejutan baru, terkait akan munculnya era abundance sekitar 5 sampai 10 tahun lagi setelah era disruption ini. Pemikiran tentang akan adanya era abundance ini berawal dari tesis Ray Kurzweil, Co-Founder Singularity University. Pada tahun 1999 Ray menulis buku The Age of Spiritual Machines, dan menerbitkan tesis tentang “The Law of Accelerating Return”.
Berdasarkan pemikiran Ray itu disampaikan Law of Moore tidak hanya berlaku dalam 50 tahun terakhir, tapi polanya telah hadir sejak 120 tahun terakhir, di mana teknologi bergerak secara eksponensial. Hal itu bermakna kecepatan prosesor komputer, daya tampung hard disk, dan segala hal yang disentuh keajaiban teknologi informasi, berlipat dua setiap 18 bulan. Atau jadi lebih murah 50 persen. Nantinya seluruh perangkat teknologi menjadi murah dan bukan lagi sebagai barang atau produk mahal. Juga nantinya bisa diduga, jaringan internet nantinya akan tersedia di seluruh dunia tanpa bayar dan bisa diakses di mana pun.
Saat ini kita masih dalam era disruption dan itu pun ada banyak hal yang terjadi di luar pemikiran dasar kita. Saat ini berbagai macam aplikasi yang didukung teknologi tidak terbendung lagi dalam kehidupan ini. Banyak hal bermunculan konsep dan realita yang ada. Sering kali tidak nyambung dengan pemikiran manusia biasa.
Contoh singkatnya, mana pernah dulu kita berpikir adanya perusahaan taksi yang tidak perlu punya kendaraan taksi, dan tidak perlu pusing menggaji sopirnya. Juga dulunya tidak pernah terpikirkan oleh kita, untuk bisa tahu posisi suatu pesawat dalam penerbangannya dan jenis pesawat serta data-data detail pesawat tersebut. Tidak pernah pula tebersit di benak, kita bisa tahu mana jalan yang macet dan mana jalannya yang lengang melalui aplikasi peta yang bisa kita lihat di gawai kita.
Kesemuanya itu diawali dengan adanya konsep globalisasi, dan lebih lanjut perkembangannya kita masuk kepada era disruption yang merupakan turunan dari konsep globalisasi itu sendiri. Ke depannya sudah diramal kita akan masuk ke era abundance.
Ini juga tanpa sadar sebenarnya adalah konsep turunan dari konteks globalisasi.
Apa makna dari semuanya ini? Kemudahan dan keterbukaan dan menjadikan dunia tanpa batas yang diawali oleh konsep globalisasi sebenarnya menguntungkan siapa? Memang diperlukan suatu kejelian untuk mencermati bahwa berbagai kemudahan dari globalisasi dengan berbagai turunan berikutnya itu, sebenarnya ada suatu motif yang bergerak ke seluruh penjuru dunia dengan kemasan kemudahan untuk seisi dunia.
Motif apakah itu? Bilamana kita cermati dengan seksama, pada hakekatnya segala hal yang semakna dengan globalisasi adalah : internasionalisasi, liberalisasi, universalisasi, westernisasi, modernisasi. Bahkan kerap kali kita menggunakan kata globalisasi rancu dengan istilah internasionalisasi sebab keduanya memiliki karakteristik yang identik. Baik internasionalisasi maupun globalisasi menyiratkan makna semakin berkurangnya peran negara dan batas-batas negara di luar aspek geografis.
Dalam ruang yang sempit tentu tidak bisa terurai lengkap, mengapa liberalisasi ada di belakang globalisasi. Namun uniknya justru secara sadar kita terjebak sendiri dalam perangkap liberalisasi dengan kemasan globalisasi. Namun yang paling penting adalah, apa pun tentang pembahasan globalisasi atau dikaitkan dengan liberalisasi atau tidak, kita harus tetap ada pada koridor jati diri bangsa kita. Artinya boleh saja ikut berubah, namun berubahlah dengan selalu berpijak pada nilai-nilai budaya sendiri.***