Laporan M ALI NURMAN, Pelalawan
Jodoh takkan ke mana, kadang ada di sekitar kita. Dua pawang gajah Flying Squad World Wildlife Fund (WWF) Taman Nasional Tesso Nilo ini akhirnya melabuhkan cinta mereka di pelaminan setelah lama berpacaran saat menggembala gajah. Pernikahan mereka pun diprosesi bak raja, diarak di atas gajah, anak-anak riuh tertawa mengiringi. Pesan harmonisasi gajah dan manusia menjadi sisi lain dari keunikan pernikahan ini.
Jam menunjukkan pukul 09.00 WIB di persimpangan Sekolah Dasar (SD) Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan. Matahari tak ragu pancarkan panasnya pagi itu. Tanpa mempedulikan panas yang mulai menyengat, senyum bahagia tampak tersungging di wajah Fikri Pohan (32), seorang mahout atau pawang gajang di Flying Squad WWF Taman Nasional Tesso Nilo, yang saat itu berdiri di persimpangan SD Desa Lubuk Kembang Bunga.
Hari itu adalah hari besar bagi pelatih dan perawat gajah ini. Ia akan mempersunting gadis pujaannya, Evatma Dewi (23), rekannya sesama mahout di Flying Squad itu. Dengan mengenakan kemeja putih, celana hitam dan peci, Fikri berdiri dengan gagahnya saat dua ekor gajah Flying Squad yang ditunggangi rekan mahout-nya menghampiri dan memberi penghormatan pada Fikri. Perlahan, dua ekor gajah, jantan dan betina, yakni Rahman dan Ria yang lebih dulu sudah dimandikan dan dipercantik dengan dipasangi baju dan pelana menghampiri Fikri dan menundukkan kepala hingga menyentuh tanah. Sanak famili dan keluarga yang mendampingi Fikri pagi itu heran bercampur takjub. Tak menyangka prosesi pernikahan yang akan dijalani Fikri begitu spesial. Jika orang lain dijemput dan diantar menggunakan mobil, kendaraan yang digunakan Fikri lain dari yang lain. Dia menggunakan gajah sebagai kendaraan menuju rumah mempelai.
Usai kedua gajah itu memberi penghormatan, Fikri lalu didaulat untuk naik ke atas Rahman, sang gajah jantan. Oleh enam rekannya sesama mahout yang setia mendampingi dan dibawa menuju rumah Ivat (panggilan akrab Evatma Dewi) sang mempelai wanita. Warga sekitar ramai berkumpul menyaksikan prosesi ini. Karena, melibatkan gajah dalam upacara pernikahan baru kali ini terjadi di sana.
Dua ekor gajah yang membawa Fikri lalu berjalan perlahan menuju rumah mempelai wanita yang terletak di RT 01/RW 02, Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, atau berjarak sekitar 500 meter dari tempat Fikri dijemput. Dua ekor gajah yang berjalan diiringi puluhan orang di belakangnya menjadikan pagi di Desa Lubuk Kembang Bunga itu berbeda dari hari lainnya, ramai dan semarak. Sesampainya di rumah sang calon istri, Fikri lalu turun dan masuk didampingi sanak keluarga untuk melaksanakan ijab kabul. Dengan mas kawin sepasang cincin emas dan diiringi pembacaan ayat suci Alquran, resmilah dia dan Ivat menjadi suami istri. Sebagai pasangan yang berprofesi sebagai mahout, tak lengkap rasanya jika kebahagiaan Fikri dan Ivat tak dibagi bersama hewan kesayangan yang sehari-hari diurus dan dirawat oleh mereka. Usai ijab kabul dan berganti pakaian dalam adat Melayu Pelalawan bernuasa kuning, pasangan suami istri ini lalu diarak keliling desa menggunakan gajah.
Dimulai dengan berjalan keluar dari rumah bak sepasang raja dan ratu, Fikri dan Ivat dinaikkan ke atas si gajah jantan. Ivat dinaikkan lebih dulu dan duduk di depan. Setelah itu, Fikri menyusul duduk di belakang istrinya. Dengan dipayungi dan dipeluk sang suami, Ivat membawa Rahman, sang gajah jantan untuk berjalan mengelilingi Desa Lubuk Kembang Bunga. Lambaian tangan dan senyuman tak henti-hentinya mereka tunjukkan pada puluhan masyarakat yang bersorak sorai gembira saat itu. Sementara, dua kerabat Fikri turut menaiki Ria, sang gajah betina yang ikut di belakang.
Perkawinan antara dua mahout yang merawat dan memelihara gajah di Flying Squad WWF Taman Nasional Tesso Nilo baru pertama kali terjadi sejak Flying Squad berdiri tahun 2004. Fikri yang sudah lebih dulu jadi pawang gajah mulai menyimpan perasaan pada Ivat saat mereka jadi rekan kerja pada 2011. Diawali dengan seringnya mereka berpatroli, memberi makan dan merawat gajah bersama, benih-benih cinta pun mulai tumbuh di antara mereka. ‘’Senyumnya itu, tak tahan kita,’’ ujar Fikri pada Riau Pos, Sabtu (11/2) sambil melirik sang istri yang tersipu saat menceritakan hal yang membuat ia jatuh hati pada Ivat. Dengan ketertarikan yang sama terhadap dunia pemeliharaan gajah, hari-hari yang berat sebagai seorang pawang gajah jadi terasa indah dijalani mereka berdua. Setelah melakukan pendekatan sekitar enam bulan, Fikri lalu memberanikan diri menyatakan cinta pada sang belahan jiwa. Pada sebuah kesempatan patroli bersama, dengan posisi yang sama-sama berada di atas punggung gajah masing-masing yang dibawa, Fikri menyatakan cintanya. Saat itu, Fikri merasa jadi pria yang paling bahagia di dunia karena sang pujaan hati juga punya perasaan yang sama terhadapnya.
Gajah sudah jadi bagian hidup pasangan ini. Itu tercermin saat mereka menghabiskan masa-masa pacaran. Ke mana-mana, mereka menghabiskan hari dengan menunggangi gajah bersama. ‘’Ya begitulah. Kita pacaran sambil menggembalakan gajah,’’ lanjut Fikri dengan mata berbinar. Setelah jadi suami istri, Fikri merasakan perasaan yang lebih kuat terhadap gajah lebih dari sebelumnya. ‘’Saya makin yakin dengan pekerjaan ini. Di sini saya temukan kebahagiaan, di sini pula saya temukan pasangan hidup,’’ ucap Fikri yakin.
Salah seorang keluarga Fikri pada Riau Pos mengatakan senang sekali melihat acara pernikahan seperti yang dijalani Fikri. ‘’Senang sekali kami menerimanya. Ditunjukkan uniknya pekerjaan anak kami ke masyarakat. Ini mungkin pernikahan pertama yang menggunakan gajah,’’ ujar sang bibi, Rohima Pardede (63). Sebagai keluarga, Rohima berharap dengan pernikahan ini masyarakat terbuka matanya terhadap binatang yang dilindungi seperti gajah. ‘’Pemerintah harus mendukung perlindungan gajah agar dapat dilestarikan hingga ke anak cucu nanti,’’ harapnya.
Koordinator Flying Squad, Syamsuardi mengatakan, ide melibatkan gajah ini sudah tercetus lama, namun baru bisa terwujud pada 2012 ini. ‘’Sejak 2006 sudah ada ide itu. Tapi karena kawan-kawan banyak yang menikah di luar, baru Fikri dan Ivat bisa terwujud,’’ jelas Syam. Keinginan melaksanakan pernikahan dengan melibatkan gajah ini pun muncul dari pasangan Fikri dan Ivat dengan dukungan rekan-rekannya yang lain. ‘’Karena ini akan jadi hal luar biasa yang akan diingat mereka, kita mendukung sepenuhnya. Dukungan yang kita beri dengan menyiapkan gajahnya. Memastikan gajah dapat dibawa dalam keramaian, karena dalam keramaian agak susah menentukan batas gajah dengan batas orang. Semua teman-teman yang mendukung kegiatan ini ikut bekerja ekstra,’’ urainya.
Meski ini pernikahan pertama yang melibatkan gajah, Syam tak menutup kemungkinan akan ada pernikahan lain yang melibatkan gajah. ‘’Kita senang sekali jika dilibatkan. Kita bahkan merencanakan membuat semacam kereta yang akan ditarik gajah sebagai tempat pengantin yang akan digunakan sebagai kendaraan mempelai,’’ ujar Syam. Melalui prosesi yang unik seperti pernikahan Fikri dan Ivat, WWF ingin menunjukkan ke masyarakat, gajah bukan musuh yang dianggap perusak dan mengancam nyawa. ‘’Gajah juga bisa dijadikan sahabat dan juga punya manfaat. Antara gajah dan manusia bisa hidup berdampingan dan selaras,’’ tukasnya.(nhk)