Oleh: Bagus Santoso, Mahasiswa S3 Ilmu Politik, Praktisi Politik dan Anggota DPRD Riau
Galih dan Ratna merupakan film drama remaja Indonesia yang dirilis pada 9 Maret 2017 dan disutradarai oleh Lucky Kuswandi. Film ini adalah remake dari film Gita Cinta dari SMA yang dibuat tahun 1979, bahkan kedua pemeran utama film tersebut, yakni Rano Karno dan Yessy Gusman juga turut membintangi film ini.
Aksi menolak penayangan perdana film Dilan 1991 yang digelar sejumlah orang di Makassar, Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu membuat naluriku sebagai penikmat seni, di sela padatnya membagi waktu kampanye Pileg 2019 mengusik hati untuk menonton film yang berhasil meraih rekor Box Office Indonesia sepanjang masa dengan total 800.000 penonton sampai dengan penayangan hari pertama.
Sungguh luar biasa dihari kelima pemutarannya di bioskop film Dilan telah tembus 3 juta penonton. Sejak pemutaran perdana, Brillian Asyifa, anakku yang kini duduk di kelas 1 SMA As-Shofa Pekanbaru sudah duluan nonton di bioskop dengan teman-teman sekolahnya. Sambil makan malam bersama keluarga -mencuplik isi film yang disebutnya Dilan 2. Karena padatnya agenda keliling Dapil maka tak begitu saya hiraukan kecuali hanya saya sela bahwa nonton itu bukan serunya tetapi di sebalik itu tontonan itu mestinya jadi tuntunan.
Siapa sih penonton film Dilan 1991, rata-rata hampir di semua bioskop adalah remaja usia sekolah dengan hipotesis penonton : 50 persen usia SMP, 30 persen usia SMA, 15 persen usia mahasiswa, dan 5 persen orang tua yang menemani anaknya. Hipotesis ini tentu bisa berbeda setiap jam tayangnya. Saya dan Anda, coba saja jika membaca narasi dan nonton film Dilan di bioskop atau Yuotube jadi larut dalam usia remaja dikelilingi siswa-siswa SMP yang disebut generasi milenia zaman now.
Nonton Dilan 1991, saya langsung teringat film remaja “jadul” andalan yang diproduksi tahun 1979 berjudul Gita Cinta dari SMA, yang dibintangi aktor pujaan remaja era tahun 80-an Rano Karno (Galih) berpasangan Yesi Gusman (Ratna). Terasa suasana antusiasme tinggi remaja menonton film Dilan 1991 hari ini sama dengan antusiasme tinggi remaja era tahun 80-an menonton film Gita Cinta dari SMA.
Lalu mencoba membandingkan kedua film itu yang sangat digandrungi remaja usia sekolah. Kedua film tersebut memiliki persamaan menukik tajam masuk mengobok-obok perasaan penonton. Keduanya nyaris sempurna mengajak penonton remajanya masuk berpetualang mendayu-dayu mengeksplor rasa cinta berbumbu kesetiaan, air mata, galau, gelisah, cemburu dan rindu.
Perbedaannya adalah Dilan 1991 mengeksplor rasa cinta dan solidaritas pertemanan anggota geng motor yang diwarnai dendam. Sehingga sampai catatan ini selesai, masih terus mencari alasan pembenar adanya wacana pembangunan taman Dilan dan hari Dilan.
Karena dalam film Dilan 1991 selain rasa cinta ala remaja, juga yang menonjol adalah hobi Dilan sang aktor utama kumpul-kumpul dengan komunitas geng motornya yang setiap saat bisa saja berantem dan balas dendam kalau ada anggota geng dikeroyak. Seperti ketika salah seorang angota geng meninggal dikeroyok, lalu Dilan sebagai anggota geng melakukan aksi balas dendam walau sudah berkali-kali diperingatkan kekasihnya Milea.
Dalam alur ceritanya dari awal yang ber-setting “abu-abu” Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak ada sama sekali bersinggungan dengan prestasi belajar aktornya, misalnya menjadi anggota geng tetapi tetap berprestasi juara kelas misalnya. Sehingga prestasi belajar yang ditonjolkan bisa menenggelamkan aktivitas geng motornya.
Berbeda dengan film Gita Cinta dari SMA yang disamping mengeksplor rasa cinta yang membuat hati penonton remajanya teraduk-aduk menyatu larut di dalamnya, juga menonjolkan prestasi belajar sang aktor utama Galih yang selalu juara kelas dan bisa menginspirasi penonton remajanya yang berlebel abu-abu (siswa SMA) meraih BCP (belajar, cinta, dan prestasi).
Bisa jadi sutradara dan produser Dilan sengaja menggantung ceritanya untuk episode lanjutannya dengan ending mas Dilan sebagai generasi milenia sukses menjadi pengusaha, lalu berakhir menyatu damai dan bahagia bersama kekasihnya Milea, tetapi ada jeda waktu yang tidak bisa diprediksi lamanya baru muncul kelanjutannya.
Di sinilah letaknya menarik didiskusikan, karena interval waktu lama itu bisa membuat penonton Dilan 1991 remaja usia sekolah mengidentifikasikan dirinya dengan mas Dilan dan meniru perannya yang tidak ada bersinggungan dengan prestasi belajar di bangku sekolah. Inilah mungkin salah satu alasan keprihatinan sekelompok orang di Makassar menggelar aksi demo penolakan film Dilan 1991. Semoga tidak terlalu lama menunggu kelanjutannya.
Bagi warga WAG Cakaplah sangat beruntung sebab salah satu penghuninya ada yang mendapat sebutan Dilan, karena sikapnya yang agak nakal tapi pintar.
Tatkala diskusi menjurus ke debat kusir, ketika update status jadi saling serang sosok Dilan menjadi bintang top untuk menyejukkan dan mendamaikan suasana.
Tak egois, menghormati dan menghargai pandangan dan perbedaan. Bedanya Dilan 1992 adalah artis bintang film sementara Dilan Cakaplah tak lagi anak SMA, body language hampir sama cuma Boxi (Botak Sexi ) dialah Bang Nai. (Salam tombo Ati, damai dan bahagia tanpa batas Dilan & Galih).***