Persentase Dana Bagi Hasil Migas Tidak Jelas

Riau | Sabtu, 11 Februari 2012 - 08:11 WIB

PEKANBARU (RP)- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Wilayah Riau mengungkapkan tidak adanya mekanisme persentase yang jelas dana bagi hasil minyak dan gas (Migas) Riau untuk sektor pendidikan, kesehatan dan pengentasan kemiskinan.

Hasil penelitian yang bertajuk Penerimaan dan Manfaat Ekonomi Sosial untuk Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Tatakelola Industri Ekstraktif di Provinsi Riau itu, dipaparkan Fitra dalam briefing bersama media, Jumat (10/2) pagi di Hotel Aziza Pekanbaru.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Ketua Fitra Riau, Usma SE dalam pemaparannya menyebutkan, DBH yang diterima oleh daerah, pembagiannya tidak sesuai dengan aturan Undang-Undang. Fitra berpendapat, seharusnya ada pembagian yang jelas ke sektor-sektor tertentu dari DBH yang diterima daerah.

‘’Seharusnya dari DBH Migas ini sudah ada pembagian, misalnya untuk pendidikan sekian persen, kesehatan sekian persen dan untuk pengentasan kemiskinan sekian pula. Namun realitasnya DBH Migas yang diperoleh daerah yang dibagi 3,1 persen untuk provinsi, 6,2 persen penghasil dan 6,2 persen untuk kabupaten/kota lainnya. DBH digabung menjadi satu yang masuk ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD),’’ sebut Usman.

Dalam pemaparannya, Fitra juga mengkhawatirkan terus menurunnya produksi Migas di Riau dari tahun ke tahun.

Sementara DBH Migas yang didapat di daerah tidak banyak berpengaruh ke masyarakat, terutama untuk mengatasi persoalan kemiskinan, peningkatan mutu pendidikan dan kesehatan.

Sementara itu, akademisi dari Universitas Islam Riau (UIR), Novianita ST MT, yang hadir sebagai pembanding menyebutkan, turunnya produksi minyak Riau diakibatkan oleh rendahnya teknologi yang dipakai untuk lifting saat ini.

‘’Memang turun bila dibandingkan masa jaya pada 1973-1983 lalu. Namun berkurangnya hasil minyak bukan karena minyak kita habis, tapi sulitnya menaikkan minyak ke permukaan. Kesulitan ini disebabkan oleh teknologi lifting minyak kita yang masih rendah, sementara alat baru yang lebih canggih sangat mahal harganya yang diprediksi malah akan merugi bila dibeli,’’ sebut Novianita.

Hasil penelitian yang dilakukan sejak dua tahun terakhir ini juga ditemukan ketidakadilan yang didapati oleh kabupaten penghasil minyak. Karena dalam UU bagi hasil antara kabupaten penghasil dengan tidak bagiannya disamakan.

Sementara kabupaten yang terdapat industri minyak ini mendapat dampak atau bahkan harus mengungsi dari areal yang berdekatan dengan daerah lifting minyak.(h)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook