PERISA - YUSMAR YUSUF

Negara dan Makanan

Riau | Minggu, 10 Juni 2018 - 11:53 WIB

Negara dan Makanan

NEGARA baru ada, jika ada produksi makanan. Setelah orang tahu memproduksi makanan, mengatur distribudi makanan, barulah negara terbentuk. Negara pertama di muka bumi ini lahir di kitaran wilayah Bulan Sabit Subur sekitar 3400 SM (sebelum kelahiran Al Masiha Isa). Produksi makanan, telah berlangsung 9000 tahun SM. Selama 6000 tahun lebih, setelah produksi makanan, barulah negara terbentuk. 

Setelah produksi makanan muai, maka pertumbuhan penduduk pun kian ramai dan muai pula. Untuk mengurus orang dalam jumlah yang muai, jumlah yang tak berhingga,  tidak saling kenal satu sama lain, agar tidak mencuriga dan tidak saling serang, maka diperlukan sebuah organisasi yang mengatur kelompok orang ramai itu, yang kemudian dikenal dengan sebutan negara.
Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Pengelompokan manusia, sejak dulu kala, mengalami fase kategori, baik dalam penyebutan dan karakter bawaannya. Jika pada tingkat individu, manusia mengkategorikan diri sesuai dengan fase pertumbuhannya; bayi, kemudian jadi balita, kanak-kanak, remaja, dewasa dan tua. Ihwal yang sama, juga berlaku pada kumpulan manusia. Ketika jumlahnya masih puluhan dan berpindah-pindah dia dikenal dengan sebutan ‘kawanan’ (band), kemudian berkembang biak dalam jumlah ratusan dan masih bisa diselesaikan segala masalah sosial melalui tatap muka, kumpulan ini disebut sebagai suku (tribe); suku, sudah mulai menetap di kampung-kampung dan dusun (kebun).

Kemudian manusia berkembang dalam jumlah ribuan, dan sudah mulai tidak kenal satu sama lain, maka kategori ini disebut sebagai kedatuan (chiefdom). Lalu, kategori terakhir karena jumlah makhluk manusia sudah mencapai (puluhan) atau ratusan ribu dan juta, maka dia disebut sebagai negara (state). Semua istilah yang disusun oleh Elman Service ini amat mudah diingat. Karena dia terdiri dari  kata-kata tunggal, hanya empat istilah kategori, tidak tujuh kategori. Kemudian istilahnya tidak menggunakan frase-frase panjang. Empat kategori ini merujuk pada ukuran populasi, sentralisasi politik dan stratifikasi sosial.

Pemahaman kita selama ini mengenai capaian peradaban sebenarnya hanya bergerak di antara dua kenyataan yang disebut dengan ‘aneh’ dan ‘cerah’ (weird). Subyek kajian tentang perkembangan manusia, hanya jika dia dapat dideskripsikan dengan singkatan WEIRD (western, educated, industrialized, rich and democratic). Anggapan ini seakan meng-iya-kan atau mengakui bahwa ada seorang lelaki kulit putih yang berdiri di depan gerbang ilmu pengetahuan dan dia (lelaki kulit puitih) itu lah yang memegang kunci gerbang itu.

Penjelasan ini bertolak dari WEIRD dengan huruf kapital. Namun, sejatinya masyarakat manusia adalah gambaran weird (aneh) yang sesungguhnya. Setiap himpunan masyarakat manusia, melahirkan keanehannya sendiri-sendiri (weird dengan huruf kecil).

Keanehan (weird) itu adalah dalam moda dan cara mereka mengumpul dan memproduksi makanan. Perkembangan manusia pada tingkat band (kawanan); memproduksi makanan dengan cara berburu dan meramu. Di sini negara belum ada dan tak terbentuk. Kemudian, masuk pada tahap pertanian berpindah (tribe), negara juga belum terbentuk.

Lalu, pada tahap kedatuan (chiefdom), masyarakatnya memproduksi makanan melalui jalan kultivasi sederhana dan menyimpan dalam prinsip-prinsip adat kedatuan, di sini negara mulai melembaga, tapi dengan manajemen yang longgar. Setelah ikatan jumlah manusia membesar dan diikuti dengan efisiensi waktu dan energi dalam proses produksi makanan, maka negara terbentuk dan kian menjadi berlipat-lipat dalam mesin birokrasi dan manajemen.

Di sini negara tidak saja mengatur distribusi makanan, akan tetapi sekaigus bertindak untuk mengatur dan mengurus keamanan atas orang-orang yang bergerak menempuh ruang-ruang dekat apatah lagi gerkakan (mobiltas) ke ruang-ruang jauh, karena setiap orang yang melintas ke ruang-ruang asing itu, akan tetap dianggap asing dan aneh (weird) oleh kaum-kaum tertentu, sehingga dia menimbulkan rasa curiga dan ancaman.

Melalui pengalaman mengatur dan mengurus poduksi dan distribusi makanan itu, maka negara tidak bisa berbicara tentang impor bahan baku makanan, apakah makanan itu berasal dari sumber nabati atau hewani. Setiap negara, dengan pegalaman awal dalam sejarah pembentukan negara, suka atau tidak suka, tetap harus  menempatkan keterjaminan pangan dan ketersediaan pangan bagi penduduknya, merupakan sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi (condition sine qua non).

Sebab bangsa yang terjamin makanannya lah yang bisa membangun peradaban dan kebudayaan yang ranggi di muka bumi. Memang, dalam varian lain, bahwa luka dan kelaparan akan melahirkan kreativitas dan rasa cinta atas sesama. Namun, luka dan kesusahan yang diarungi itu pasti dengan maksud menuju kebahagiaan hidup, terutama dalam hal keterjaminan asupan makan dan minum. Asupan gizi dan jaminan vitamin yang cukup yang diperlukan untuk diserap oleh tubuh dan keperluan tumbuh kembang otak dan syaraf.

Peradaban bangsa yang tinggi dan ranggi, tidak lagi mempermasalahkan ketersediaan pangan. Bangsa ini sudah sampai pada level bermain (ingat homo ludens); yang berandai pada tesis manusia sebagai makhluk bermain. Kita saat ini belum sampai pada level bangsa bermain itu. Kita masih dibelit dengan persoalan-persoalan dasar. Sejatinya, ihwal keterjaminan pangan, telah menjadi isu sentral pada setiap kebudayaan, termasuk kebudayaan yang paling sederhana sekalipun.

Komunitas kawanan (band) yang teramat sederhana, bertahan hidup dengan cara berpindah-pindah mencari tapak lahan yang tumbuh recup rumput dan dibasahi hujan. Penanda subur. Mereka bisa menanam sekaligus meramu dan berburu.  Maka, menjadi ironis, ketika sebuah negara yang kaya, memiliki ketersediaan dan bentang lahan yang luas dan subur, namun masih mengalami krisis pangan, masih bergantung pada impor pangan, sebagaimana yang kita jalani hari ini.

Berhari-hari, berbulan dan bertahun-tahun. Untuk dan demi itu semua, tiada pelawa atau tawaran apapun dalam menjalani tugas suci negara, kita harus memulai lagi kesadaran tentang produksi pangan sebagai syarat utama bagi terbentuknya sebuah negara. Dalam sejarahnya.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook