Menentukan Awal Ramadan

Riau | Selasa, 09 Juli 2013 - 09:22 WIB

Pertanyaan:

Ada hal yang ingin saya tanyakan berkenaan dengan awal Ramadan, yaitu: Pertama, bagaimana cara menentukan awal Ramadan menurut Alquran dan Sunnah. Kedua, siapakah yang berwenang untuk menetapkan 1 Syawal? Ketiga, apakah kita harus mengikuti Makkah dalam memasuki Ramadan atau Syawal?

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Rika, di Panam

Jawaban:

Untuk menentukan awal Ramadan, ada dua cara yang telah diajarkan Rasulullah SAW, dan telah pula disepakati para ulama, yaitu dengan ru’yatul hilal dan ikmal.

Pertama, dengan melihat bulan atau dalam bahasa Arabnya ru‘yatul hilal. Cara ini dilakukan dengan memperhatikan terbitnya bulan di hari ke-29 Syakban sore hari saat matahari terbenam di ufuk Barat.

Apabila bulan sabit terlihat walaupun sangat kecil dan dalam waktu pendek, itu berarti umat Islam telah memasuki 1 Ramadan.

Hal itu juga berarti bahwa Syakban umurnya hanya 29 hari. Besoknya adalah bulan baru, yaitu Ramadan dan ditetapkan untuk melakukan ibadah Ramadan seperti Salat Tarawih, makan sahur dan mulai berpuasa.

Kedua, menyempurnakan bulan atau Ikmal, yaitu menggenapkan umur bulan Syakban menjadi 30 hari bila bulan sabit awal Ramadan sama sekali tidak terlihat. Bulan Syakban ditetapkan menjadi 30 hari dan puasa Ramadan baru dilaksanakan lusanya.

Perintah untuk melakukan Ru’yatul hilal dan Ikmal ini didasari atas perintah Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Abu Hurairah yang artinya: ‘’Puasalah dengan melihat bulan dan berbuka dengan melihat bulan, bila tidak nampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Syakban menjadi 30 hari’’.

Kemudian yang berwenang menetapkan awal Ramadan dan Syawal adalah pemerintah. Seseorang yang bukan ulama, bukan ahlib  ru’yat atau ahli hisab, para muqaalid dan muttabi’, jadwal puasanya mesti mengikuti umat Islam umumnya di suatu negeri.

Beberapa ulama berpendapat bahwa setiap negara tergantung kepada ru’yah di negara masing-masing, jika mathla’-nya berbeda. Mereka berdalil dengan perbuatan Abdullah bin Abbas saat di Madinah yang tidak mempedulikan ru’yah penduduk Syam.

Saat itu orang-orang Syam telah melihat bulan di malam Jumat, dan berpuasa berdasar dengan ru’yah itu di zaman Muawiyah. Adapun penduduk Madinah, mereka tidak melihat bulan kecuali di malam Sabtu.

Abdullah bin Abbas, saat diberitahu Kuraib bahwa penduduk Syam telah melihat bulan dan berpuasa, ia berkata yang artinya: ”Kami telah melihatnya di malam Sabtu, tapi kami tetap berpuasa sampai melihat bulan atau menyempurnakan jumlah”.***

Dr H Akbarizan MA,  Ketua Komisi Fatwa MUI Kota Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook