PEKANBARU (RP) - Masyarakat harus ikut mengawasi pemanfaatan anggaran publik, baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dengan begitu, anggaran publik itu dapat diupayakan agar benar-benar dipakai untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Selain itu, dana yang menguap atau dikorupsi bisa semakin diminimalisir.
Demikian pendapat bersama sekaligus kesimpulan dari diskusi internal yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pekanbaru, di Breaks Cafe, Mal Ciputra Seraya, Sabtu (7/7). Diskusi berjudul ‘’Menyoal Kebocoran APBN dan APBD di Daerah’’ itu menghadirkan dua nara sumber, yakni mantan Ketua DPRD Riau, Chaidir dan ekonom dari Universitas Riau, Dr Jahrizal.
Para nara sumber dan peserta yang merupakan jurnalis dari berbagai media di Riau dan Sumatera Barat yang merupakan anggota AJI itu juga sepaham bahwa korupsi sudah semakin mengganas. Jumlahnya bisa mencapai triliunan rupiah.
Modusnya sudah sangat canggih dan selalu baru. Pihak yang terlibat semakin meluas, teknik dan proses perlakuannya sudah makin halus, dan yang terpenting, semakin sulit untuk memproses hukumnya, karena sangat baik pula dalam pemanfaatan celah hukumnya.
Chaidir menyampaikan kesimpulannya dengan menyitir peribahasa:
“Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya”. Chaidir pun menambahkan, keterlibatan publik makin diperlukan, karena lembaga-lembaga yang berwenang untuk mengawasi dan mengadili itu sejauh ini tak efektif menjalankan fungsinya.
Buktinya, korupsi makin meraja lela, walaupun aturan-aturan yang dimaksudkan untuk dapat mengurangi kebocoran anggaran dan korupsi itu selalu ditelurkan.
Ia mencontohkan, yudikatif tak selalu dapat membuktikan kesalahan macam-macam pihak yang diduga terlibat ‘’memakan’’ uang negara, walau uang negara itu sudah menguap.
Sementara, badan pengawas keuangan negara yakni Badan Pengawas Keuangan (BPK), baru dapat melakukan audit keuangan secara administratif, alias prosedural tata laksana keuangan saja. Belum substantif.
“Makanya, tahun lalu Provinsi Riau atau beberapa kabupaten di Riau bisa mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK. Padahal, semua juga tahu bagaimana pemanfaatan anggaran pemerintah itu,” kata Chaidir.
Selain kritis terhadap pengawasan anggaran, peserta dan nara sumber diskusi juga punya pandangan sama tentang pelaksanaan musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Musrenbang sejauh ini hanya formalitas belaka,
untuk menyatakan bahwa rencana atau usulan-usulan pembangunan sudah dikumpulkan dari bawah atau dari rakyat (bottom up).
“Musrenbang itu cuma omong kosong. Yang menentukan anggaran itu tetap kelompok-kelompok tertentu yang berkolaborasi sesuai wewenang dan perannya masing-masing untuk menentukan pemanfaatan anggaran,” kata Anto, seorang peserta diskusi.
“Memang, semua menunggangi anggaran. Semua minta fee setiap mau menelurkan aturan, program, anggaran dan lain-lain. Susah memberantasnya. Begitu lagi dan begitu lagi. Kenyataannya kini, makin besar rampoknya,” kata peserta lain, Hasan Hanafi dengan pendapat serupa.
Karena itu, ditambakan Hasan, satu jalan untuk memperbaiki kondisi ini adalah melaksanakan transparansi anggaran.
Bentuk transparansi itu antara lain terbukanya akses bagi siapa pun untuk mengetahui buku lintang yang menjadi dasar program pembangunan daerah. Terutama, bagi kalangan jurnalis.(mar)