Defisit APBD merupakan selisih kurang antara Pendapatan Daerah dan Belanja Daerah pada tahun anggaran yang sama. Defisit terjadi bila jumlah pendapatan lebih kecil daripada jumlah belanja. Itulah apa yang disebut defisit menurut Kementerian Keuangan Dirjen Perimbangan Keuangan.
Apabila APBD mengalami defisit, defisit tersebut dapat dibiayai dengan penerimaan pembiayaan, termasuk dalam penerimaan pembiayaan tersebut misalnya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya, penggunaan cadangan, penerimaan pinjaman, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan penerimaan kembali pemberian pinjaman atau penerimaan piutang. SiLPA merupakan dana milik daerah yang bersangkutan, sehingga tidak menimbulkan risiko fiskal seperti halnya pinjaman. Dalam hal APBD mengalami defisit, tidak ada pendanaan khusus yang disalurkan dari APBN kepada daerah untuk menutup defisit tersebut.
Kebijakan Penganggaran Defisit
pada APBN menular diterapkan juga di daerah. Defisit anggaran hanya sebuah kebijakan penyusunan APBD, terserah mau memilih defisit, surplus, atau berimbang. Sejatinya kebijakan defisit anggaran mengindikasikan pemerintah bergiat menggenjot peningkatan penerimaan PAD selain mengharapkan SiLPA hanya saja kandas karena berbagai faktor yang sebenarnya bisa dikaji dan disiasati.
Defisit anggaran negarapun terus melebar sejak 2014 lalu. Tahun 2017, defisit mencapai 2,92 persen, berselisih 0,08 persen dari batas defisit yang ada di undang-undang. Kondisi itu membuat pemerintah mengambil opsi utang. Alhasil, utang pemerintah melonjak mencapai Rp 3.672 triliun per Mei 2017 lalu, atau naik Rp 1.069 triliun dibandingkan dengan posisi utang pada akhir 2014 lalu. Utang terus membengkak dimana sampai april 2018 Gubernur Bank Indonesia (BI) mengomentari jumlah utang luar negeri (ULN) Indonesia. Dari catatan BI, ULN tersebut berada pada angka 356,9 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp 4.996,6 triliun (kurs Rp 14.000 per dollar AS).
Tulisan ini tidak mengupas berapa besar utang negara yang menjadi topik terhangat pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini. Terus terang saya enggan memaksakan otak dan mesin kalkulator di perangkat HP untuk menghitungnya, sebab haqul yakin tidak akan mampu menampung bilangan angka duit utang negara.
Tulisan ini mengupas fakta tentang APBD Riau tahun 2018, yang berlanjut pada episode menurut istilah pemberitaan halaman pertama Riau Pos selasa (2/10) sebagai catatan sejarah baru. Semoga saja bukan sejarah hitam, karena pertama Riau tanpa APBDP, sememang harus diakui Pemprov kalah cermat menghitung dibandingkan dengan Kota dan Kabupaten yang direngkuhnya . Itu semua akibat musibah defisit dimana duit masuk atau penerimaan tidak sebanding dengan belanja, alias besar pasak dari pada tiang.
Sebulan yang lalu saya mendapatkan surat dari mitra Komisi 2 Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) isinya mengundang untuk menjadi narasumber pada kegiatan Pelatihan Pembinaan Pengelolaan Persampahah (P4) di Kabupaten Meranti. Hari dan tanggalnya sudah deal, undangan untuk peserta juga sudah disebarkan. Tiba-tiba satu hari menjelang pelaksanaan diberitahukan bahwa acara ditunda sampai waktu yang belum ditentukan apa pasal, ya karena anggaran kegiatan tersebut tidak cair.
Dua minggu berikutnya Dinas Perikanan yang juga mitra komisi 2 menyampaikan kabar berita yang mirip terkait program kegiatan pada Dinas LHK. Bedanya sedikit ada kemajuan, proses dokumen lelang oleh pejabat pembuat komitmen
( PPK ) sudah di upload ke sistem
layanan administrasi pengadaan barang/ jasa ( SuLap) ULP untuk di lelang. Tetapi hasilnya membuat sesak dada, pedih dimata, paket kegiatan tersebut bukannya di lelang tetapi oleh ULP dibalikkan lagi ke PPK, ada keterangan penundaan proses tender sambil menunggu kepastian penganggaran.
Gagal atau tidak jelasnya kelanjutan kedua kegiatan diatas dan pasti akan menimpa kegiatan yang lainnya, merupakan contoh nyata yang dihadapi OPD tersebab defisit anggaran. Di LHK sebagian kegiatan P4 sudah terlaksana di Kota Dumai sementara di tempat lain Meranti dan lainnya bisa batal atau tetap dilaksanakan tergantung ketersediaan anggaran.
Sementara kegiatan pengadaan alat tangkap ikan menjadi beban derita semua pihak. Kenapa ? OPD tidak hanya akan dinilai nol kinerja tetapi beban berat menanggung kutukan masyarakat yang kecewa. Mereka sudah berulang kali melakukan survei dan pertemuan dengan para nelayan, menyiapkan kelengkapan syarat proposal dan keberadaan kelompok. Bermakna masyarakat yang sudah berharap akan dikecewakan. Begitu juga kegiatan pengadaan bibit ternak sapi, pengadaan bibit tanaman sampai pembangunan infrastruktur gedung, jalan jembatan. Maka Bersiaplah pemerintah yang di dalamnya masuk lembaga DPRD tercatat dalam lembaran sejarah akan mendapat cap pembohong.
Jauh hari saya telah menulis di kolom interupsi Riau Pos tentang Dana Pusat Ngadat Daerah Sekarat dan mengingatkan agar Gubernur meninggalkan kenangan manis dengan menggenjot OPD, PPK dan ULP agar sepenuh tanggung jawab menuntaskan tugas dan kewajibannya terhadap program dan kegiatan APBD 2018 dapat terlaksana maksimal minimal 95 persen. Tentang dana pusat yang ngadat dikabarkan akhirnya sudah masuk Rp 400 miliar tinggal kekurangan Rp 116 miliar.
Pada acara diskusi Riau Pos jumat (28/9) dengan tema Menyiasati defisit menurut Tri Budhianto Kakanwil Ditjen Perbendaharaan Riau sebesar Rp 30 triliun anggaran yang bersumber ke APBN “diteteskan” ke Riau. Rasanya memang lebih tepat tetesan karena Riau seabagai penyumbang devisa negara semestinya mendapatkan lebih besar atau minimal sama yang di dapat di Aceh dan Papua. Maka titik problem sebenarnya pada OPD,PPK dan ULP yang masih saling lempar bola panas.
Dibalik kemelut OPD, PPK dan ULP, Nun di Kantor Megah Gubernur Riau terdengar kabar bahwa Plt Gubernur menyatakan sudah positif tak ada APBDP. Pernyataan ini setelah sebelumnya digelar rapat antara TAPD dan Banggar DPRD berlangsung dengan insiden lempar kertas notulen namun menarik sekali karena endingnya potong kue ulang tahun Sekda Riau. Yang perlu dicermati defisit jangan sampai menjadi alat pembenar “gebyah wiyah” menjustifikasi tidak dilaksanakan program kegiatan. Sebagai alasan yang sejatinya proyek tak jalan tersebab tidak menguntungkan pihak- pihak tertentu dan jelas ini perilaku tidak fair, ada udang dibalik batu, apalagi tahun 2018 adalah masa transisi kepemimpinan Riau. Dimana menjadi rahasia umum gubernur baru kabinet baru, berganti pula pejabat kepala Dinas, Badan, Biro , ULP, PPK membuat gairah kerja lemah.
Dengan tidak adanya APBDP jelaslah apa yang harus di buat oleh pemerintah Riau. Pertama tidak dipusingkan lagi mencari penambahan duit atau menambah belanja apa saja, termasuk kegiatan di sekretariat DPRD. Kedua tinggal menjaga komitmen kepada rakyat yaitu tetap melaksanakan program dan kegiatan sehingga pemerintah tidak akan distempel tukang pembohong. Teknisnya silahkan disepakati apakah mengurangi volume atau memilih paling prioritas yakni kegiatan yang benar- benar langsung di rasakan rakyat. Rasionalisasi harus dilakukan agar tak salah mencoret konsultasi ke pemerintah pusat.
Mari bersama menghitung seberapa besar defisit dan akan berimbas seburuk apa pada program dan kegiatan yang sudah diketok palu. Anggaran APBD Riau Tahun 2018 Rp 10 triliun, dikurangi defisit Rp 1 triliun masih ada duit Rp 9 triliun, rasanya tidak perlu panik untuk kelangsungan program dan kegiatan. Hitungan sederhananya kemarin kita punya 10 potong roti sekarang masih 9 potong roti, berkurangnya hanya satu potong. Mari dijalankan dengan cara bersepakat bersama. OPD, sekretariat Gubernur, Sekretariat DPRD jangan bertahan dengan ego masing- masing bahwa memang semua harus kencangkan ikat pinggang. Jika sepakat rasionalisasi pada kegiatan- kegiatan yang dinilai tak menyentuh rakyat seperti kegiatan sosialisasi, monitoring, kajian sampai perjalanan dinas mari ditetapkan dengan tegas mulai kapan berlaku. Misalnya sejak bulan oktober setelah resmi APBDP tak ada, jangan pula kegiatan apapun termasuk perjalanan dinas yang sudah dilaksanakan dikorek- korek, hanya menambah ramainya pemberitaan padahal barangnya sudah punah ranah.
Jika kita cermati kenapa defisit anggaran ? Permasalahan utama target SiLPA 2017 yang diperkirakan mengalir ke tahun 2018 Rp 1,1 triliun realisasinya setelah audit BPK hanya Rp 58 M.
Bermakna akibat kesalahan penetapan SiLPA harus ditempuh rasionalisasi Rp1 T. Apalagi ditambah DBH yang ditargetkan Rp 2 triliun, celakanya setelah Perpres keluar hanya mendapat Rp 1,7 triliun. Kedua terjadi masalah penganggaran (internal) yg sebenarnya controllable
yang uncontrollable bagi Riau yaitu dengan kasus tunda salur DBH, walau sebenarnya tunda salur hampir setiap tahun terjadi, dan sudah dapat terprediksi perhitungannya.
Rasanya kita sepakat dengan dua solusi yang ditawarkan Kakanwil Ditjen Pajak Riau Tri Budhianto dalam mengatasi defisit, pertama menambah pendapatan, kedua efisiensi belanja penghematan anggaran. Defisit anggaran di Riau tidak terlepas dari berkurangnya DBH serta tunda salur dari pemerintah pusat, tetapi juga faktor belanja pegawai. Di Pemprov Riau ada 15.976 pegawai alokasi belanja pegawai mencapai Rp 2,3 triliun, Kota Pekanbaru porsi belanja pegawai Rp 1.03 triliun untuk 7.735 pegawai atau 42 persen dari total APBD kota Pekanbaru 2018, yaitu melebihi dana DAU yang ditransfer pusat. Sesuai kebutuhankah jumlah pegawai yang ada di Riau ? Jika memang terlalu gemuk kenapa pemerintah pusat membuka kembali penerimaan CPNS ? memang menghitung kebutuhan riil jika disandingkan dengan kebutuhan suara politik sampai kiamat tidak akan ketemu angkanya, data sebenarnya bisa bicara tetapi berhadapan dengan cuaca politik - lebih baik bernyanyi bersama Ebiet G Ade coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.