Lima Imigran Gelap Tolak ke Rudenim

Riau | Jumat, 08 Juni 2012 - 08:48 WIB

PEKANBARU (RP) - Sebanyak 28 dari total 33 orang imigran gelap berkewarganegaraan Palestina dan Irak yang dibawa dari Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) akhirnya mau menghuni Rudenim Pekanbaru setelah sempat tiga hari menginap di masjid Ar Rahman, Jalan Rahmat Sari.

Meski begitu, lima orang lainnya memilih bertahan tinggal di masjid karena menilai keluarga dan istri yang sedang hamil tak layak ikut tinggal di Rudenim.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Ikutnya ke-28 orang ini untuk menghuni Rudenim Pekanbaru terjadi Kamis (7/6) pagi, diawali oleh langkah persuasif yang dilakukan oleh Karudenim, Fritz Aritonang.

Dia datang ke masjid tersebut dan memberikan penjelasan pada para imigran ini hingga akhirnya mereka pasrah dan mau menjadi penghuni di Rudenim.

‘’Kalau dipaksa mereka tidak akan mau. Tapi kalau diberi penjelasan dari hati ke hati akhirnya mereka mau,’’ kata Fritz pada Riau Pos.

Sementara itu, lima orang yang masih berkeras untuk tetap tinggal di masjid adalah keluarga Abdul Nasir (22), asal Palestina. ‘’Istri saya hamil tiga bulan, kedua orang tua saya harus diberi gula darah. Kami belum mau ikut ke Rudenim. Kami tidak bisa tinggal bersama mereka. Tempat tinggalnya tidak layak,’’ ujar Nasir.

Keluarga Abdul Nasir yang menolak ikut ke Rudenim ini terancam tidak akan diproses statusnya, karena mereka yang surat-suratnya akan diproses adalah mereka yang tinggal di dalam Rudenim.

‘’Kita tidak akan memaksa mereka untuk masuk ke dalam. Namun jika mereka mau diurus statusnya, mereka harus ikut tinggal di dalam Rudenim. Jika tidak, ya tidak bisa. Mereka harus ikut aturan,’’ ujar Fritz.

Abdul Nasir sendiri tak begitu ambil pusing dengan hal ini. ‘’Tak mengapa buat saya (jika status tidak diurus, red). Saya lebih baik tinggal di sini. Orang Indonesia baik-baik. Mau membantu kasih makan. Saya yakin Tuhan selalu menjaga kami,’’ katanya.

Sementara itu, salah satu keluarga yang lain, keluarga Hasan dari Irak berharap UNHCR dapat memperhatikan nasib mereka. ‘’Kami berharap agar UNHCR yang mengangani masalah imigran-imigran seperti kami, secepatnya memperdulikan kami,’’ ujar Hasan (40).

Dikatakan Hasan, ia beserta keluarganya sudah berpindah-pindah hidup di lima negara.

‘’Sudah banyak keluarga saya yang mati. tidak mungkin saya tinggal di Irak dan Palestina,’’ katanya. Diceritakannya, sebelum ke Indonesia, ia sudah tinggal di Irak, Palestina, Cyprus, Suriah, dan Turki.

‘’Saya ingin pindah ke Australia. Saya memulai perjalanan di Suriah, kemudian ke Cyprus dan Indonesia. Anak pertama saya lahir di Palestina. Anak kedua lahir di Suriah, anak ketiga lahir di Cyprus. Mereka sempat sekolah, hanya sampai setingkat SMP saja,” papar Hasan.

Seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, Pemindahan 33 orang imigran gelap asal Palestina dan Irak yang dibawa dari Nusa Tenggara Barat (NTB) ke Rudenim Pekanbaru, Senin (4/6) diwarnai kericuhan. 33 orang ini menolak untuk tinggal di Rudenim setelah melihat kondisi kamar yang disiapkan untuk mereka.

Imigran gelap yang tiba di Pekanbaru sekitar pukul 12.15 WIB ini sedianya akan menjadi penghuni Rudenim Pekanbaru setelah lebih kurang 43 hari tinggal di Mataram, NTB. Mereka dibawa ke Pekanbaru setelah ditangkap masuk ke Indonesia tanpa identitas yang jelas melalui laut dan udara.

Permasalahan timbul saat mereka tiba di Pekanbaru. Apa yang dijanjikan oleh pihak Imigrasi NTB ternyata tidak sesuai dengan apa yang didapati mereka.

‘’Dari Mataram kami dibilang akan dibawa ke Jakarta untuk tinggal di sebuah rumah. Ternyata saat di Bandara saya lihat, Jakarta hanya transit saja, kami dibawa ke Pekanbaru,’’ ujar salah seorang imigran, Hasan (40) asal Irak.

Penolakan ke 33 orang imigran gelap ini untuk tinggal di Rudenim Pekanbaru ditunjukkan dengan cara yang cukup dramatis. Pantauan Riau Pos di Rudenim Pekanbaru, anak-anak dan perempuan yang ikut dalam rombongan ini tampak berteriak-teriak histeris.

Dalam bahasa Inggris mereka menceritakan bagaimana keluarga mereka dibantai oleh Israel di tanah kelahiran mereka, Palestina.

‘’Dua orang adik saya tewas dalam setahun di sana,’’ ujar seorang ibu dari rombongan ini. Seorang imigran lainnya, Ahmed mengatakan, Rudenim ini terlihat seperti penjara. ‘’Mereka bilang di sini bebas, padahal ini penjara,’’ ujarnya gusar.(ali)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook