Chevron Berbagi Informasi dengan Peserta

Riau | Jumat, 07 Desember 2012 - 10:04 WIB

PEKANBARU (RP)- Memasuki hari kedua pelaksanaan Workshop Jadi Wartawan bersama Riau Pos yang ditaja Litbang RPG Divre Pekanbaru, manajemen PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang diwakili Humas Okta Hery Fandi berbagi informasi kepada para peserta, Kamis (6/12) di ruang rapat redaksi Riau Pos.

Dalam pemaparannya, Okta lebih dulu mengajak peserta menyampaikan pandangannya terhadap CPI. Sebanyak 19 orang

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

peserta yang mengikuti workshop dipilih secara acak.

Lukman, mahasiswa UIN berpendapat CPI memberlakukan aturan yang begitu ketat, seperti saat memasuki areal Chevron harus menggunakan helm ganda, menyalakan lampu dan sebagainya termasuk petugas kebersihan yang kerjanya menyapu halaman di areal perkantoran menggunakan safety untuk keselamatan pekerja seperti sepatu, helm, kacamata, sarung tangan, baju lengan panjang dan sebagainya.

Sementara Mukmin, mahasiswa UIR berpendapat CPI hanya mengeruk migas dari Riau sementara jalan di Riau banyak yang rusak. Demikian juga kehidupan masyarakat di sekitar operasional CPI banyak di bawah garis kemiskinan.

Saat mendengar pendapat para peserta, Okta tersenyum dan memaparkan bahwasanya pendapat itu sudah diprediksinya, di mana CPI dianggap sebagai drakula yang hanya menghisap (mengambil kekayaan bumi), asing karena memberlakukan peraturan sangat ketat, perusak lingkungan dan mencari keuntungan saja.

Namun pada kenyataannya, CPI tidaklah demikian karena selama lebih kurang 85 tahun beroperasi di Indonesia, CPI taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Di mana CPI beroperasi sebagai penghasil produk jasa yang sama diartikan buruh. Di mana lahan dan segala fasilitas yang dimiliki CPI seluruhnya milik negara sehingga masuk dalam objek vital negara yang harus dilindungi.

‘’Untuk investasi minyak bumi dana yang dikeluarkan sangat mahal. Untuk satu sumur minyak bisa menghabiskan dana 10 miliar dolar AS dan sumur lepas pantai bisa mencapai 20-30 miliar dollar. Bisa dibayangkan jika dana APBN atau APBD digunakan pemerintah untuk mengelola migas. Sedangkan tingkat resiko investasi ini sangat besar. Sebab dari pengeboran minyak yang dilakukan belum tentu menghasilkan minyak. Demikian juga dengan ladang minyak yang ada di Indonesia rata-rata sumur tua sehingga diperlukan teknologi terbaru untuk mengangkat minyak bumi dari pori-pori bebatuan,’’ jelasnya.

Sedangkan pembagian hasil migas ini, pemerintah Indonesia mendapatkan 85 persen sementara CPI hanya 15 persen.(hen)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook