Riau Disarankan Miliki Lembaga Pelestarian Cagar Budaya Sendiri

Riau | Kamis, 06 Desember 2012 - 10:36 WIB

PEKANBARU (RP)- Untuk menghindari kerusakan lebih lanjut terhadap benda cagar budaya (BCB) Melayu di Provinsi Riau, peserta dialog budaya Melayu menyarankan agar Riau memiliki lembaga pelestarian BCB tersendiri.

Usulan ini menjadi rekomendasi khusus peserta dalam dialog budaya Melayu yang dilaksanakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, 3-5 Desember 2012 di Hotel Premiere Pekanbaru.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Hasil rumusan dan rekomendasi disampaikan anggota tim Aan Rukmana ketika penutupan dialog. Menurutnya, setelah mengikuti pemaparan 15 makalah dan 3 orasi ilmiah serta diskusi yang berkembang, akhirnya dirumuskan sepuluh poin. Ini ditambah enam poin sebagai rekomendasi.

Pertama, peserta dialog budaya Melayu menilai terbentuknya masyarakat dan budaya Melayu serta diasporanya telah bermula sejak berabad-abad yang lampau berdasarkan bukti-bukti arkeologis, geologis, kronik, naskah lama dan sumber sejarah lain.

Kedua, telah terdapat cukup banyak penulisan sejarah Melayu tetapi belum dipahami secara komprehensif oleh segenap anak bangsa Melayu.

Ketiga, berdasarkan kajian mutakhir antropologi ragawi dapat dikenali ciri-ciri kekhususan orang Melayu. Keempat, budaya Melayu yang berbasiskan alam maritim memiliki sifat terbuka dalam kemajemukan, nilai senasib sepenanggungan, religius, dan patuh terhadap nilai-nilai budaya lokal.

Kelima, bahasa Melayu tidak hanya sebagai bahasa pengantar (lingua franca) dalam perdagangan tetapi juga menjadi bahasa intelektual khususnya sejak munculnya kesultanan Islam di bumi Nusantara, dan menjadi bahasa resmi di tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Selanjutnya, keenam, kesamaan aspek budaya di antara masyarakat Melayu, meski berbeda negara, dapat membangun keharmonisan dalam pergaulan bersama.

Ketujuh, nilai budaya Melayu yang menjadi pedoman hidup masyarakat tempatan dewasa ini menghadapi tantangan globalisasi serta kepentingan politik lokal dan nasional.

Kedelapan, akibat dari poin ketujuh, ekspresi karya budaya dan kesenian Melayu, seperti musik, sastra dan seni pertunjukan tradisional menjadi terabaikan.

Kesembilan, tidak semua masyarakat Melayu di Asia Tenggara mendapatkan kebebasan untuk mengekspresikan budayanya. Kesepuluh, asimilasi budaya Melayu masih terbatas di tempat-tempat tertentu yang mengakibatkan kurang diketahui secara luas di antara masyarakat Melayu.

Sedangkan enam poin rekomendasi yang dihasilkan adalah, pertama, perlu dilakukan revitalisasi seni dan budaya Melayu agar dapat selaras dengan perkembangan zaman.

Kedua, dalam rangka pelestarian dan pewarisan nilai-nilai budaya Melayu perlu diadakan langkah-langkah penyebarluasan, pendampingan, dan pengembangan.

Ketiga, perlu ada penulisan bersama Sejarah Melayu di wilayah Asia Tenggara. Keempat, dalam rangka membangun keharmonisan masyarakat Melayu, perlu dilakukan dialog secara berkesinambungan.

Kelima, mendorong sinergi pemerintah daerah dan pemerintah untuk lebih mengoptimalkan pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan budaya Melayu di daerah.

Keenam, sebagai rekomendasi khusus, untuk menghindari kerusakan lebih lanjut cagar budaya Melayu hendaknya di Provinsi Riau dibentuk lembaga pelestarian cagar budaya tersendiri.

Tokoh Budayawan Melayu Riau, H Tenas Effendy mengatakan, keberadaan lembaga BCB di Riau sudah menjadi hal yang mutlak.

Karena keberadaan BP3 Batusangkar yang sekarang berubah nama menjadi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) meliputi Sumatera Barat, Kepri, dan Riau yang tentu saja jangkauannya terbatas.

“Usulan kita bisa dipindahkan atau dibuat khusus di Riau,” ujarnya.

Persoalan ini memang menjadi materi bahasan Lembaga Adat Melayu Riau. Sebab, kalau benda cagar budaya yang ada di Riau sekarang tidak terperhatikan, maka akan hilang. Riau banyak memiliki banyak benda cagar budaya yang tersebar di hampir seluruh kabupaten/kota di Riau.

Tapi juga justru tidak terperhatikan. Sementara untuk pengesahan benda cagar budaya itu, meski Bupati dan Wali Kota sudah melindunginya dengan Peraturan Daerah, tapi pengesahannya tetap melalui pusat.

Selain itu, keberadaan BPCB ini akan memudahkan melakukan pendataan dan pemeliharaan terhadap benda cagar budaya yang ada di Riau. Hal yang sama juga dilontarkan Ketua Dewan Kesenian Riau (DKR) H Kazzaini KS.

“Benda cagar budaya di Riau banyak yang tak terperhatikan, Kalau itu lambat ditangani, akan muncul penyesalan sejarah di kemudian hari. Karena tidak mungkin waktu yang berlalu dimundurkan kembali,” ujarnya.

Benda cagar budaya yang ada di Riau itu, tidak pernah ditangani dengan baik. BP3 yang sekarang berubah nama BPCB, seperti kewalahan menangani BCB yang ada di wilayahnya termasuk Riau.

Usulan ini tidak ditampik Kabid Nilai Budaya Bahasa dan Seni, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Riau, Drs Yoserizal Zen.(dac)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook