DARI DIALOG BUDAYA MELAYU

Insafkah Pemerintah Pusat?

Riau | Rabu, 05 Desember 2012 - 10:38 WIB

Laporan FEDLI AZIZ, Pekanbaru fedliazis@riaupos.co

Dialog Budaya Melayu berlangsung, 3-5 Desember di Hotel Premiere Pekanbaru yang ditaja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI dapat dipandang sebagai semacam ekspresi keinsafan pemerintah pusat atas kebudayaan Melayu dalam ruang ke-Indonesiaan.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Bentuk apresiasi ini tentunya harus dimanfaatkan untuk mengembangkan kembali kebudayaan Melayu di rantau ini.

Budayawan Riau yang juga sebagai pembentang makalah dihelat Dialog Budaya Melayu, Al azhar menyampaikan, bentuk keinsafan pemerintah pusat itu belumlah cukup.

Ditegaskannya, pemerintah pusat sebaiknya mengiringi keinsafan itu, melalui kementerian-kementerian terkait ikut serta memfasilitasi agenda-agenda pemulihan kembali martabat kebudayaan Melayu Riau khususnya pada tahun-tahun mendatang.

‘’Fasilitas itu kita perlukan untuk mempercepat pencapaian-pencapaian kita di bidang kebudayaan. Dengan itu, pemerintah pusat harus ikut ‘berkeringat’ menciptakan sebuah ‘taman Melayu’ di ruang ke-Indonesiaan,’’ ungkapnya kepada Riau Pos di sela-sela acara, Selasa (4/12).

Meskipun, isu Dialog Budaya Melayu kali ini cukup bervariasi, sebagian mengulang kembali hal yang sudah sering menjadi perbincangan di kawasan Melayu.

Misalnya, bahwa Melayu itu kebudayaan terbuka, lintas negara, cair dan karena itu amat responsif terhadap perubahan-perubahan sejarah.

Bahwa, kebudayaan Melayu di masa kini dirasakan terpinggir, itu adalah karena kebudayaan pada umumnya di Indonesia disubordinasi oleh politik praktis dan kebijakan serta praktik ekonomi Indonesia.

Karenanya, fasilitas yang diberikan pemerintah pusat harus ditangkap untuk mempercepat pencapaian-pencapaian di bidang kebudayaan.

‘’Dengan itu, pemerintah pusat ikut ‘berkeringat’ menciptakan sebuah ‘taman Melayu’ di ruang ke-Indonesiaan,’’ tambahnya meyakinkan.

Mantan Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bisri Effendy yang juga tampil pada helat Dialog Budaya Melayu di Pekanbaru-Riau dalam kesempatan yang sama bicara blak-blakan tentang kepentingan pusat dan daerah.

Bahkan secara tegas, Bisri yang juga peduli pada kebudayaan Melayu, dibuktikan dengan penelitian dan menulis buku tentang kebudayaan Melayu di Natuna sejak 1990-an hingga sekarang, bahwa kondisi hari ini berbeda dengan zaman Orde Baru (Orba).

Jika di masa Orba, kepentingan pusat murni untuk menguasai daerah, maka pemerintah hari ini, justru kebingungan untuk menentukan sikap atas daerah-daerah di Indonesia. Dalam hal ini, tentu saja terhadap daerah-daerah kawasan Melayu, salah satunya Riau.

Salah seorang pendiri Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Indonesia ini menuturkan, pusat memfasilitasi daerah tentu saja dalam konteks kepentingan pusat itu sendiri. Jika dulu, di masa Orba pusat memfasilitasi daerah untuk penaklukan daerah, maka sekarang lebih terbuka, namu belum jelas atau belum ada format yang pasti.

Artinya, mereka (pemerintah pusat) belum tahu, akan diapakan daerah tersebut. Karenanya, daerah harus menyikapi kepentingan ‘’kosong’’ ini untuk melakukan sesuatu yang terbaik bagi daerah demi masa depan yang lebih baik.

Dialog Budaya Melayu ini hanya melakukan diskusi-diskusi yang menurutnya tidak penting alias remeh-temeh. Untuk itulah, daerah harus menagih janji pusat terhadap pengembangan kebudayaan Melayu.

‘’Jika di zaman Orba terjadi penaklukan massa rakyat disengaja dalam semua bidang untuk penaklukkan kebudayaan, maka sekarang tidak lagi. Jika pun ada, hanya paradigma dan bukan institusi yang tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Di Senayan itu, kebudayaan hanya sebagai mainan belaka dan semuanya diharapkan jadi barang dagangan sesuai dengan pandangan orang sekarang yang materialistis,’’ ulasnya.

Untuk kasus Melayu Riau misalnya, mereka (orang-orang Riau), memiliki keunikan tersendiri untuk mengawal dan membesarkan kebudayaannya yang memang dulunya pernah mencapai masa keemasan.

Sikap ini berimbang antara keinginan untuk mengawal dan mengembangkan kebudayaan sendiri dan dukungan berbagai kalangan.

Apa yang dijelaskan, budayawan Riau Tenas Effendy dan Al azhar pada pernyataan mereka pada helat ini sudah sangat jelas, bahwa orang Melayu Riau peduli pada dirinya dan kebudayaannya. Bahkan kebudayaan mereka masih terpelihara dengan baik hingga hari ini.

Tidak saja dalam kebudayaan secara luas, bahkan dalam upaya peningkatan mutu kesenian. Meski dalam ruang lingkup kecil, namun kontinuitasnya tetap stabil.

‘’Upaya ini harus terus dilakukan dan dijaga agar tahun-tahun mendatang, akan sampai pada pencapaian yang diinginkan,’’ tambahnya.

Kasus ini berbeda, misalnya Melayu Jambi yang menggebu-gebu untuk mengembangkan kebudayaan mereka, namun tidak didukung oleh sikap tegas. Sikap mereka bertolak belakang dengan apa yang mereka harapkan.

‘’Orang Melayu Jambi semangat untuk mengembangkan kebudayaan, namun tidak bisa lepas dari bantuan pusat,’’ akunya.

Menanggapi kasus lainnya, ketika Jakarta (pusat) bersitegang dengan Malaysia, Riau terlihat tidak bereaksi dan santai-santai saja. Menurut Bisri itu dikarenakan orang Riau menyikapi dengan pandangan kebudayaan dan bukan politik.

Menurutnya, hal itu sangat wajar dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Salah satu contoh yang menghebohkan akhir-akhir ini yakni pencaplokan kesenian reog Ponorogo oleh jiran tetangga Malaysia.

Pertanyaannya, apa sikap orang-orang atau penggiat reog Ponorogo atas kasus itu? Dikatakan Bisri, bahwa pelaku reog di Ponorogo justru tidak bereaksi sama sekali dan santai-santai saja.

Yang heboh, justru pelaku dan pengembang reog Ponorogo di luar Ponorogo seperti Jakarta dan kawasan Jawa lainnya.

‘’Ini contoh kongkrit bahwa pencaplokan itu terjadi juga karena orang kita sendiri dan jika diusut siapa yang harus dipersalahkan tentu saja orang Ponorogo, sebab merekalah yang mengirimkan berbagai perlengkapan reog itu ke Malaysia. Menurut saya, ketegangan itu terjadi karena dipandang secara politis bukan ruang kebudayaan. Satu lagi, elite politik kita justru tidak pernah memikirkan hal itu sama sekali,’’ jelasnya.

Lebih jauh dipaparkan Bisri Effendy, sebenarnya persoalan kebudayaan di Indonesia sudah sangat kronis.

Bahkan yang lebih menyedihkan dan menjadi masalah besar adalah isu-isu kekinian yang diangkat dalam pertunjukan kesenian hanya dinikmati dan dirasakan secara mendalam di ruang pertunjukan saja.

Setelah itu, semuanya hanya omong kosong belaka. Tidak dapat membangkitkan kesadaran kolektif di tengah-tengah masyarakat untuk mengubah keadaan yang membelit mereka.

Padahal isu yang ditawarkan para seniman adalah isu penting untuk membangkitkan semangat mengembangkan diri, kebudayaan dan bangsa ini.

‘’Kesdaran kebudayaan sudah ditebang hingga ke akar-akarnya sejak masa Orba dan saat ini adalah waktu yang tepat untuk menanam dan menyemainya kembali. Memelihara, mengawal dan mengembangkan kebudayaan menjadi tugas anak bangsa dan sekali lagi saya tegaskan, jangan berharap banyak dari pemerintah pusat yang tidak memikirkan hal itu,’’ katanya mengakhiri.(ila/h)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook