PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Tidak sedikit pihak yang beranggapan bahwa oleh-oleh termasuk makanan khas Riau, selain cukup sulit didapat, harganya pun mahal. Kepala Seksi Kerja Sama Pengembangan Ekonomi Kreatif Riau Dinas Pariwisata, Bero, menjelaskan sebenarnya perkembangan ekonomi kreatif di Riau sangat pesat. Dia juga menjelaskan mengapa sebagian oleh-oleh itu masih dijual dengan harga lebih tinggi.
Orang memandang ekonomi kreatif hanya sebatas seni, kerajinan dan kuliner. Padahal terdapat 16 subsektor, mulai dari seni pertunjukan (tari, teater, komposisi/apresiasi musik, seni rupa), seni musik (daerah, band, dangdut, dan lainnnya), kuliner, cendera mata, kerajinan, game dan aplikasi, fotografi, design, arsitektur, penerbitan, televisi serta radio,” paparnya.
Lebih lanjut, Bero sampaikan untuk kuliner sudah terhimpun sebanyak 500 resep khas Melayu. Jika setiap hari mengolah satu resep tersebut, tak putus dalam waktu tiga bulan. Terkadang tidak semua orang mampu, sehingga cukup sulit mendapatkan bahan bakunya. Perihal oleh-oleh, Bero beberkan sudah mulai berkembang dibanding beberapa tahun lalu.
Sekarang oleh-oleh khas Melayu mulai bermunculan, seperti home industry. Sepintas secara keseluruhan memang sepi di tepi jalan. “Di RCC/Riau Creative Center di dalamnya terdapat informasi dan promosi pelaku kreatif. Sehingga memudahkan dalam pencarian lokasi oleh-oleh yang ada di Riau,” sambungnya.
Sementara mahalnya oleh-oleh, Bero jelaskan bahwa hal itu dipengaruhi ongkos produksi serta biaya hidup. “Jika dibandingkan dengan daerah Jawa jelas berbeda, karena di sana bahan-bahan mudah didapat dan ongkos pekerja lebih murah. Berbanding terbalik dengan di Riau yang bahan dan ongkosnya mahal,” katanya.
Terkait mahal, juga disampaikan Sekretaris Dinas Pariwisata Provinsi Riau, Bambang Rusdianto, bahwa belum bisa mengemas secara baik. Contoh, kalau di daerah Jawa bisa mengepak ikan dalam kotak kecil, sementara di Riau dalam ukuran besar. Itulah yang menjadi mahal.
“Masalah lain juga ketika ingin memberi cendera mata harus pesan ke home industry terlebih dahulu, karena pelaku ekonomi kreatif masih takut perihal Pekanbaru hanya menjadi daerah transit wisatawan, karena tujuan wisatawan ke daerah-daerah bukan ke Pekanbaru,” jelasnya.