DARI PELATIHAN INVESTIGASI PENCUCIAN UANG KORUPSI KEHUTANAN

Bisnis Orang Kepercayaan dan Koper Jadi Tren

Riau | Selasa, 04 Desember 2012 - 10:38 WIB

Laporan BUDDY SYAFWAN, Pekanbaru

Modus pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang sudah demikian beragam. Tak zamannya lagi menyimpan uang hasil korupsi di bank atau atas nama pribadi.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Jangan heran juga bila tukang sapu bisa menjabat direktur perusahaan. Ini soal korupsi.

Pembahasan tentang praktik pencucian uang dari tindak pidana sektor kehutanan menjadi isu hangat dalam ruang Pelatihan Investigasi Pencucian Uang Korupsi Kehutanan yang dilaksanakan Strengthening Integrity and Accountability Program (SIAP) II di Bertuah V Hotel Pangeran Pekanbaru, Senin (3/12).  

Meski belum menemukan bukti konkret pencucian uang, bukan berarti tidak ada praktik tersebut. PPATK, sebagai pemantau peredaran uang menemukan banyak kecurigaan terhadap rekening-rekening yang diduga menjadi praktik pencucian uang hasil dari kejahatan kehutanan.

‘’Dari 98.000 rekening yang dicurigai, sektor kehutanan termasuk yang kita curigai dan masuk dalam urutan keenam bersama korupsi perbankan, asuransi, perdagangan. Termasuk di Riau. Karena indeks yang kita miliki untuk Riau berwarna oranye. Artinya ada,’’ ungkap Muhammad Novian.

‘’Bila pihak terkait seperti KPK, kepolisian, kejaksaan mau menggunakan hasil analisis PPATK, sebenarnya, bisa dibuktikan. Karena alirannya jelas. Layaknya pencucian uang dari penjualan voucher ponsel provider ternama yang bentuknya belum berupa uang saja kita bisa telusuri, apalagi kalau kaitannya dengan kejahatan sektor kehutanan,’’ ungkap dia.

Hanya saja, dijelaskan analis senior PPATK lainnya, Azamul Fadli, ada beberapa motif yang digunakan oleh pelaku pencucian uang.

‘’Mereka tak lagi menggunakan perbankan atas nama pribadi, melainkan dengan mana anak, istri, cucu atau orang-orang kepercayaan. Jangan heran, kalau sekarang, orang yang sehari-hari kita lihat hanya tukang sapu, ternyata direktur di perusahaan. Orang-orang kepercayaan, punya rekening besar yang sengaja disimpankan kepadanya,’’ ungkap Azamul.

Dijelaskan dia, pelaku korupsi kehutanan kini tak akan menyimpan uangnya di bank atau safety box, melainkan di koper.

‘’Jadi, kita ini sekarang kembali ke zaman dulu. Karena kalau di bank pasti tertelusuri,’’ ujar Azamul.

Dalam proses pelatihan tersebut, banyak peserta yang mempertanyakan perihal pencucian uang dari tindak pidana sektor kehutanan yang dialihkan kepada bisnis perkebunan.

Menanggapi hal tersebut, Muhammad Novian menjelaskan, sepanjang cara mendapatkan uang tersebut ilegal, maka hasil yang dialihkan atau dicuci juga ilegal.

‘’Kuncinya bisa tidak kita membuktikan kalau uang yang menjadi objek money laundering itu berasal dari praktik ilegal sektor kehutanan. Atau ada tidak bukti yang bisa menguatkannya, seperti status lahan, atau status perusahaan yang mengelolanya. Sepanjang diperoleh, maka tak ada alasan untuk tidak memproses pelaku,’’ jelas Novian.

Pelatihan ini dilaksanakan selama dua hari terhitung Senin-Selasa (3-4/12).

Setidaknya, puluhan wakil dari instansi terkait sektor kehutanan, lembaga swadaya masyarakat dan media ikut ambil bagian mengungkap praktik pencucian uang ini.

Direncanakan, Selasa (4/12) ini, akan dilanjutkan dengan bedah kasus pidana kehutanan dan money laundering dengan sampel penelusuran PPATK di Riau.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook