DPD RI dan Kemenhut Temui Bupati

Riau | Jumat, 04 Oktober 2013 - 09:54 WIB

KAMPAR (RP) - Kedatangan rombongan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipimpin oleh Insiawati Ayus dan Departemen Kehutanan RI yang dikomandani oleh Timbul Batubara ke Kantor Bupati Kampar, Kamis (3/10), dimanfaatkan Bupati Kampar Jefry Noer untuk menyampaikan dilema yang dialami Pemkab Kampar untuk membangun di areal yang masuk dalam kawasan.

Bahwa sejumlah desa di Kecamatan Kampar Kiri Hilir terisolir dan rawan pangan, bukan lantaran Pemkab Kampar tidak berupaya membuka isolasi desa tersebut, tapi justru aturan main perhutananlah yang membikin Pemkab Kampar terkendala.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

‘’Bapak ibu bisa bayangkan. Betapa mirisnya nasib warga saya dari Gema hingga ke Kemuning lantaran akses jalan di sana tak ada. Selama ini mereka hanya mengandalkan jalur transportasi air. Kalau musim banjir kesusahan, musim kemarau perahu mereka kandas. Kami tak bisa membikin jalan sepanjang 30 kilometer lantaran status area yang akan dibikin jalan itu dibilang kawasan hutan,’’ ujar Bupati Kampar Jefry Noer, saat memimpin rapat pembahasan aspirasi masyarakat dan daerah Kampar soal perhutanan di lantai III kantor Bupati Kampar.

Tak selesainya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau kata Jefry makin menambah masalah. ‘’Konflik terus terjadi. Di Kampar saja, konflik antara masyarakat dengan PT Rimba Seraya Utama (RSU), PT Perkebunan Nusantara V dan PT Riau Agung Karya Abadi (RAKA) masih belum tuntas,’’ katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Kampar M Syukur malah menyebut bahwa ada 141.449 hektare kawasan hutan di Kampar yang izinnya tak prosedural. Izin itu, ada yang milik pribadi dan perusahaan.

‘’Mei lalu Bupati Kampar sudah menyurati Kemenhut soal itu. Dan tiga bulan kemudian tim Kemenhut datang untuk menertibkan. Hasilnya, nyaris timbul insiden saat tim Kemenhut mendatangi salah satu perusahaan yang izinnya tak prosedural itu,’’ cerita Syukur.

Kasus kejahatan kehutanan di Kampar ini, kata Jefry, adalah dampak dari otonomi daerah yang tak sepenuh hati. Aturan main soal kehutanan sudah ditarik pusat.

Lalu, giliran perusahaan yang dikasi izin mau memperpanjang izinnya, pusat tak memberi tahu dulu kepada daerah. ‘’Sementara yang lebih tahu seluk beluk wilayah di daerah itu kan pemerintah daerah,’’ ujar Jefry.

Bagi Kementerian Kehutanan kata Kepala Subdit Penyidikan & Pengamanan Wilayah I, Suharyono, UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Kehutanan, sudah ada. Dan Badan Pencegahan dan Kejahatan Kehutanan juga sudah dibikin.

‘’Kami akan terus melakukan penyelidikan soal kejahatan kehutanan ini. Ada 11 kasus kejahatan kehutanan yang sedang kami selidiki di Riau. Sebanyak 4 kasus di antaranya ada di Kampar,’’ katanya.

Duduk Semeja

Sementara itu, terkait konflik antara PT Rimba Seraya Utama (RSU) dan PT Air Jernih duduk semeja untuk menyelesaikan sengketa lahan seluas 735 hektare yang terjadi di Kampar Kiri Hilir Kabupaten Kampar.

‘’Walaupun RSU sudah menang di pengadilan, ada baiknya, dua perusahaan ini duduk semeja. Sebab PT Air Jernih juga kan sudah mengeluarkan modal besar untuk menanam sawit di lahan itu,’’ kata Jefry.

Rapat ini, selain dihadiri 4 anggota DPD RI, juga sejumlah petinggi Departemen Kehutanan RI, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Riau dan Kabupaten Kampar, juga dihadiri oleh Kepala Dinas Kehutanan Kampar, M Syukur, Kadis Perkebunan Kampar, sejumlah anggota DPRD Kampar dan masyarakat Desa Bangun Sari Kecamatan Kampar Kiri Hilir.

Adalah PT RSU yang mendapat izin Hutan Tanaman Industri (HTI) pola transmigrasi dari Kementerian Kehutanan seluas 12.600 hektare pada tahun 1996. Lahan ini berada di Kecamatan Pantai Raja, Siak Hulu dan Kampar Kiri Hilir.

Dirut RSU, Delta menyebut, lahan yang sudah sempat digarap oleh perusahaan sudah mencapai 5.000 hektare. Namun lantaran konflik mencuat sejak tahun 2001, lahan yang tersisa, akhirnya telantar.

Lantaran tak ada kegiatan, masyarakat yang merasa punya hak kebun dari RSU membangun kesepahaan dengan PT Air Jernih untuk membangun kebun kelapa sawit di atas lahan seluas 735 hektare.

Dana yang sudah digelontorkan oleh perusahaan yang dimiliki Hinsatopa inipun sudah mencapai kisaran Rp24 miliar.

RSU tak terima lahannya digarap perusahaan lain. Tiga kali teguran tak dihiraukan. Inilah kemudian yang membikin RSU membawa persoalan ini ke meja hijau. ‘’Hingga ke tingkat Mahkamah Agung kami menang,’’ ujar Delta dalam pertemuan itu.

Hinsatopa yang diberikan bicara oleh pimpinan rapat mengaku tak ngotot mempertahankan lahan itu. ‘’Kami pun mau menggarap lahan itu atas permintaan masyarakat. Bukan kemauan kami sendiri. Jika kemudian RSU meminta lahannya kembali, kami hanya minta ganti biaya yang sudah kami keluarkan,’’ pinta Hinsatopa.(adv/a/b)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook