(RIAUPOS.CO) - Riau adalah salah satu negeri orang Melayu. Sub etnik, bagian dari bangsa Indonesia. Sama seperti Singapura dan Malaysia. Agaknya yang masih bisa mengibarkan bendera kebangsaannya, hanya Malaysia dan Brunei Darussalam. Di Malaysia, bangsa Melayu juga sedang di bawah tekanan yang luar biasa untuk mempertahankan identitasnya. Pertanyaannya, 100 atau 200 tahun lagi apakah masih ada warisan dan jejak orang Melayu? Masih adakah identitas kemelayuan itu? Atau kelak akan terusir dari negeri nenek moyang.
Tokoh dan budayawan Riau, Datuk Seri Lela Budaya H Rida K Liamsi memaparkan, perekonomian telah mengubah peta etnisitas di Selat Melaka dan kawasannya. Begitu drastis. Perdagangan bukan saja membuat selat Melaka dengan ribuan kelompok masyarakatnya maju dan berkembang, namun juga telah menelan dan menenggelamkan kelompok masyarakat Melayu. Tersingkir atau melebur dan bersatu dalam kelompok etnis lain untuk bisa survive.
"Hari ini, Riau dan negeri-negeri Melayu di Pesisir Timur Sumatera, sedang berhadapan dengan kekuatan ekonomi yang bernama perkebunan kelapa sawit. Bukan hanya perambahan dan konversi hutan, namun juga terjadi reetnisitas. Orang Melayu mulai tersingkir dari komunitas asalnya. Terpinggirkan, kalau dalam pertarungan ekonomi," ujarnya pada Seminar internasional Alam Melayu: Sejarah, Warisan dan Perjuangan Identitas yang dilaksanakan Yayasan Abdurrab di di Rumah Adat Raja Ahmad Engku Haji Tua bin Raja Haji Fi Sabilillah Riau Abdurrab Malay Heritage, Kampus 2 Universitas Abdurrab Jalan Bakti Pekanbaru, Sabtu (3/9).
Turut hadir Pembina Yayasan Abdurrab Dr dr Susiana Tabrani MPd, Ketua Yayasan dr Irvan Tabrani MKes, Rektor Universitas Abdurrab Prof Susi Endriani SSi PhD, tokoh masyarakat Riau drh Chaidir, mantan Gubri H Wan Abu Bakar serta tamu undangan lainnya.
Rida mengatakan, Riau dalam pengertian hari ini bukan lagi sebuah kekuatan politik dan ekonomi yang bisa menentukan arah dan jalan hidup orang Melayu. Riau bukan lagi entitas sebuah kerajaan, seperti Siak dulu, Kampar dulu, Rokan dulu dan Indragiri dulu. Sekarang hanya provinsi, suatu wilayah yang ditentukan di ujung paku demokrasi.
"Sekarang orang Melayu masih memegang teraju kekuataan untuk menentukan jati bangun negeri meskipun dengan berbagai keterbatasan politik yang diatur parlemen. Tapi seratus atau dua ratus tahun kemudian, masihkan menjadi kekuatan penentu masa depan etnisnya?" sebut Rida.
Bangsa yang berhasil menjaga akar budayanya, tak mudah dikalahkan. Ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945, Jepang seakan lumat dan hancur. Tapi tak sampai 50 tahun, Jepang sudah bangkit kembali. Rakyatnya sudah bisa minum teh dalam tradisi Jepang. Bisa pakai kimono hingga menulis huruf kanji. Ternyata perang tidak bisa merenggut akar budaya Jepang.
"Dalam konteks kemelayuan Riau hari ini, diperlukan political will untuk mempertahankan keberadaan Melayu. Dalam beberapa buku termasuk pikiran cerdas Prof Tabrani Rab dengan Tempias-nya menunjukkan bagaimana etnis Melayu, bisa survive di tengah pertarungan etnisasi," ucapnya.
Rida memberikan apresiasi kepada Yayasan Abdurrab yang memberikan sumbangan sangat besar bagi Melayu kawasan. "Riau Abdurrab Malay Heritage Institute fokus ke literasi budaya Melayu. Rumah adat ini akan menjadi pancang literasi budaya. Mari kita bantu keluarga ini yang sangat peduli terhadap perkembangan budaya dan masyarakat Melayu," imbuhnya.
Seminar sehari ini yang dimoderatori dosen Sejarah Islam dan Alam Melayu, Universitas Abdurrab Khairul Ashdiq Lc MHSc PhD (Cand) ini juga menghadirkan pembicara dari rantau Alam Melayu; Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Yakni Peneliti INSISTS Indonesia dan Dosen Pascasarjana Universitas Darussalam Gontor Dr Syamsudin Arif MA, Akademi Jawi Malaysia En M Syukri Rosli MPhil, Budayawan Melayu Pattani Thailand En Mahroso Doloh MPd dan moderator Dosen Sejarah Islam dan Alam Melayu, Universitas Abdurrab Khairul Ashdiq Lc MHSc PhD (Cand).
Pembina Yayasan Abdurrab Dr dr Susiana Tabrani MPd menceritakan proses sampai akhirnya bisa mendirikan Rumah Adat Raja Ahmad Engku Haji Tua bin Raja Haji Fi Sabilillah Riau Abdurrab Malay Heritage. Semua iini menurutnya tak terlepas dari pemikiran-pemikiran ayahandanya, Prof Tabrani Rab.
“Melayu begitu kami cintai. Kami pun berusaha untuk menerjemahkan kalimat itu dan apa yang sebenarnya yang dikehendaki oleh ayahanda. Sebagai dokter paru-paru, saya kurang memahami apa yang dimaksudkan oleh ayahanda, kemudian saya membaca semua tulisan-tulisannya sampai saya paham. Bahwa manusia itu punya sisi-sisi yang perlu diperhatikan. Fitrah untuk bertauhid, fitrah untuk berilmu tapi dia tetap sebagai orang Melayu, seorang Indonesia, yang punya tata budaya yang pendekatannya mestilah paham bagaimana seorang Melayu," kata Susi.
Tahun 2013, Susi diberi kesempatan untuk berkunjung ke Kota Moskow, ke Kota Samarkand dan berziarah ke makan Imam Al-Bukhari. Ia melihat peninggalan Islam pada abad ke-7 kawasan yang di dalamnya ada masjid, sekolah atau universitas dan perpustakaan. Terinspirasi, tahun 2015, atas izin ayahandanya, ia membangun Masjid At-Tabrani, membangun sekolah dan perpustakaan. "Untuk sentuhan budaya kami membangun rumah adat ini," kata Susi.***
Laporan LISMAR SUMIRAT dan PRAPTI DWI LESTARI, Pekanbaru