Oleh: Bagus Santoso, Mahasiswa S3 Ilmu Politik, Praktisi Politik dan Anggota DPRD Riau
RIAUPOS.CO - Banyak jalan menuju Roma, banyak jalan mencapai tujuan, demikian ungkapan klasik yang biasa dipakai para politisi dalam mendapatkan jabatan. Ungkapan tersebut lebih menarik dimaknai saat ini ketika hitungan kurang dua bulan lagi negeri ini menuju Pemilu 17 April 2019, untuk memilih legislator yang akan bertugas di parlemen sekaligus memilih presiden baru.
Khusus pemilihan presiden yang lebih menjadi pusat perhatian rakyat, kedua kandidat presiden satu tahun terakhir ini bersama tim sukses sudah gencar mencari pengaruh ke semua elemen dalam masyarakat. Kedua kandidat silih berganti keliling daerah memasuki dan mendekati rakyat yang tinggal di pinggiran.
Kunjungan kedua kandidat bersama tim suksesnya ke daerah-daerah penulis sebut dengan pilitik “obat nyamuk bakar”. Sebagaimana obat nyamuk bakar, yang dibakar adalah lingkaran paling luar, kemudian bara apinya terus berputar menuju titik tengah.
Begitu pula kedua kandidat presiden bersama tim suksesnya mendekati tokoh-tokoh masyarakat di daerah-daerah yang banyak memiliki pengaruh. Para tokoh masyarakat dijadikan sebagai perantara melamar rakyat.
Dengan emas kawin yang nilanya tidak terdeteksi oleh publik, tokoh-tokoh masyarakat mendapat tugas untuk mempengaruhi (baca membakar) semangat orang-orang desa di sekitarnya. Komunitas rakyat kecil yang cenderung “cuai” politik dan pada umumnya hanya ikut arahan dari orang yang ditokohkan.
Api semangat memilih itu diharapkan terus menjalar berputar membakar kesadaran rakyat untuk memilih salah satu kandidat presiden sesuai pesanan orang yang mengordernya. Contoh yang paling mudah dipahami adalah kunjungan kandidat presiden ke beberapa Pondok Pesantren besar di pulau Jawa untuk mendekati kiai kharismatiknya.
Teori ini dilakukan karena di kalangan santri masih berlaku pemahaman “ngalap berkah” ucapan Kiai harus di “enjehkan” di patuhi atau kalau istilah di militer disebut garis komando. Apa kata kiai adalah wajib hukumnya diikuti santri.
Itulah sebabnya dari pemilu ke pemilu Pondok Pesantren selalu menjadi basis suara yang paling diminati politisi, khususnya kandidat presiden. Keluarga cendana ( Presiden Suharto) mengistilahkan sowan pesantren datang silaturahmi ke pesantren.
Dengan ribuan santri yang mendapat bimbingan dari kiainya diharapkan lagi bisa menjadi penyambung lidah api untuk membakar kesadaran keluarganya, tentangganya untuk memilih salah satu pesanan kandidat presiden.
Kalau teori obat nyamuk bakar ini diterapkan dengan dukungan manajemen massa yang terorganisir rapi, hasilnya pasti luar biasa dalam mendapatkan dukungan massa akar rumput di daerah-daerah pinggiran.
Teori ini sangat cocok memang diterapkan di daerah-daerah pinggiran dengan dua alasan. Pertama, kArakter pemilih di desa-desa masih berlaku penokohan seseorang untuk dijadikan panutan sekaligus tempat bertanya setiap ada problem di tengah masyarakat.
Sehingga dengan memegang tokoh masyarakatnya, hampir bisa dipastikan masyarakat disekitarnya mengikuti arahannya memilih salah satu kandidat presiden yang diinginkan. Kedua, masih ada sekitar 60 persen pemilih di daerah-daerah pinggiran tingkat pendidikan rendah sehingga mudah dipengaruhi dan diarahkan.
Selain komunitas santri, masih banyak komunitas produktif lainnya di daerah-daerah pinggiran yang bisa dimobilisasi suaranya. Seperti komunitas petani, nelayan, pedagang pasar tradisional, komunitas tukang becak, sampai komunitas preman sekali pun.
Ini memungkinkan karena realitas lapangan menunjukkan kalau semua komunitas yang disebutkan ini rata-rata masih apriori dengan politik. Maksudnya lebih memilih memisahkan diri dari hiruk pikuk perpolitikan. Tidak mempersoalkan siapa pun jadi presiden, yang penting rutinitas kehidupan sehari-harinya tidak terganggu.
Dibalik keampuhannya teori ini membakar semangat pemilih di daerah-daerah pinggiran, terdapat juga kelemahannya, yaitu kurang bisa diterapkan di kota-kota besar. Ini disebabkan, karena pemilih di kota sudah mulai mengalami proses pencerdasan politik. Dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi, sudah bisa mengkalkulasi untung ruginya memilih pemimpin.
Bagaimana dengan Riau, apakah politik bakar obat nyamuk dapat diterapkan ? Jawabnya boleh iya boleh tidak. Tetapi dari hasil pengalaman sebelumnya-lebih banyak tidaknya, karena masyarat Riau relatif melek dalam memelototi percaturan politik.***