Perbedaan dasarnya ada dua. Pertama, terletak pada biaya produksi dan produk yang dihasilkan. Kalau industri barang biaya pruduksinya didapatkan setelah produk yang ditawarkan laku di pasaran. Lain halnya dalam industri politik yang biaya produksinya harus dibayar lebih dahulu oleh pemegang saham, tanpa harus menunggu apakah produk yang ditawarkan di pasar laku atau tidak.
Kedua, kalau industri barang menghasilkan produk benda yang bersifat konkrit (benda nyata, dapat dilihat dan diraba). Sementara dalam industri politik, produknya bersifat abstrak karena ia berupa konsep yang kemudian akan dijabarkan atau diaplikasikan di lapangan oleh para pemegang sahamnya (politikus).
Di antara sekian banyak produk yang dihasikan oleh industri politik, yang paling banyak diminati dan paling di respon rakyat secara luas adalah pemilu. Itulah sebabnya setiap jelang pemilu Indonesia selalu dilanda inflasi politisi. Suatu kondisi dimana politisi (caleg) secara kuantitas banyak melebihi keperluan, sementara secara kualitas belum berpengaruh dalam perbaikan nasib rakyat.
Kondisi ini kemudian membuat bursa demokrasi dalam pemilu legislatif memerlukan biaya sangat mahal. Perlu modal besar kalau ingin memasuki bursa demokrasi di wilayah pemilu. Banyaknya modal yang diperlukan tergantung pada tingkat derajat pasar demokrasi yang ingin dimasuki. Volume transaksi di bursa demokrasi tingkat pusat tentu jauh lebih besar dibanding transaksi di pasar demokrasi tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Biaya pemilu presiden tentu jauh lebih besar dibanding dengan biaya pilkada. Modal yang diperlukan untuk menjadi caleg DPRI tentu jauh lebih besar dibanding untuk menjadi caleg DPRD provinsi dan kabupaten kota. Biaya yang diperlukan dalam kampanye kandidat presiden tentu jauh lebih besar dibanding biaya yang diperlukan para kandidat kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten kota.
Kendati demikian ukuran besar kecil modal politik hitungannya tergantung kepiawaian masing-masing. Realitas politik ini kemudian memicu lahirnya kapitalisasi politik di Indonesia. Kapitalisasi politik adalah suatu realitas sosial ekonomi politik yang menyerahkan penentuan jabatan-jabatan politik ke pasar. Siapa yang memiliki modal banyak itu yang kemudian diprediksi berpeluang membeli jabatan-jabatan politik ke publik.
Menuju Pemilu 2019, sangat penting mengungkapkan kembali data dan fakta Pemilu 2009 yang diserang ganasnya kapitalisasi politik memakan korban tanpa ampun. Tercatat kurang lebih 180.000 orang calon anggota legislatif (caleg) yang sudah menghabiskan modalnya mengalami gangguan jiwa setelah gagal terpilih. Terjadi peningkatan pasien Rumah Sakit Jiwa sebanyak 600 persen pascapemilu legislatif 2009.
Kondisi ini terjadi karena harapan berbanding terbalik dengan kenyataan. Dengan menghamburkan modal ke pasar demokrasi para caleg hanya membayangkan kemenangan sehingga jor-joran menghamburkan biaya politik tanpa siasat dan strategi yang tepat. Akibatnya kontestasi berujung kebangkrutan membawa kemalaratan.***