Oleh: Dr Irvandi Gustari, Dirut Bank Riau Kepri
ADA sejumlah pihak menuding ciutan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di Twitter termasuk menjadikan rupiah jadi gonjang-ganjing terhadap dolar AS? Itu pun mata uang negara-negara lain ikut juga terkena imbasnya. Apakah semudah itu rupiah bergoyang hanya akibat pengaruh efek psikologis dari reaksi pasar setelah ciutan dari seorang presiden negara adidaya si penguasa dunia ekonomi maupun penguasa dunia secara politik sekali pun?
Memang, menjawab pertanyaan di atas tentunya tidak semudah membahas seperti kita bincang-bincang di kedai kopi. Ya, memang kita sudah pada tahu semuanya bahwa dalam 3 pekan terakhir, nilai tukar rupiah terjadi pelemahan. Bahkan mendekati hampir Rp 14.000 per dolar AS. Bila kita kaitkan dengan dinamika perekonomian yang sedang berlangsung di dunia global, sebenarnya kesemuanya ini adalah rangkaian proses dinamika tarik-menarik antara supply and demand. Namun bila dibawa ke dunia politik ekonomi, maka isu ini akan tergiring kepada ranah politik dan justru aspek ekonominya malah makin ditinggalkan.
Apa sebenarnya yang terjadi? Betulkah ciutan Trump sangat sakti dan bisa berkekuatan menggoyang perekonomian dunia? Coba kita telusuri kenapa pandangan sejumlah pihak seperti itu bisa muncul. Ya, memang di pekan lalu itu ada kicauan Trump di Twitter yang isinya menuduh Cina dan Rusia sebagai manipulator kurs dan dituding melakukan devaluasi mata uangnya. Kita secara awam pada tahu bahwa langkah devaluasi mata uang biasanya dilakukan agar ekspor suatu negara menjadi lebih murah dan akan menjadi lebih bersaing di pasar global. Pihak Rusia dan Cina melakukan aksi devaluasi mata uang sebagai langkah taktik aksi balasan di saat AS terus menaikkan suku bunga. Apa yang dilakukan Rusia dan Cina sebenarnya sah-sah saja dalam proses ekonomi internasional. Namun ciutan Trump itu, oleh pasar global dikhawatirkan bersayap. Inilah masalahnya.
Bisakah kita ukur sejauh mana kekuatan ciutan Trump di Twitter itu? Jawabannya mudah sebenarnya. Dalam suatu sistem perekonomian yang kuat secara fundamental, sebenarnya pengaruh adanya isu itu tidak akan berpengaruh besar. Kalau pun ada riak-riak kecil, itu adalah ulah dari segelintir spekulan saja. Pelemahan mata uang dari sejumlah negara, kalau dikaji lebih jauh sebenarnya ada sikap sentimen. Yang menjadi perhatian pelaku pasar uang adalah kenaikan yield surat utang AS bertenor 10 tahun. Yield dari surat utang ini mendekati level tiga persen untuk pertama kalinya sejak 2014. Ditambah lagi adanya rumor yang entah sengaja dilontarkan oleh pihak Fed AS yaitu adanya ekspektasi kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) sebanyak lebih dari tiga kali selama 2018. Hal ini itu jelas berpeluang adanya potensi kenaikan suku bunga AS dalam waktu dekat. Inilah sebenarnya yang menjadikan kondisi rupiah dan sejumlah negara lainnya ketar-ketir.
Lalu bagaimana sikap kita? Secara singkat dan cara pandang yang sederhana yang bisa dipahami semua pihak, ketidakkokohan rupiah ini adalah adanya instabilitas pasar uang. Ini yang menjadikan dana asing yang masuk ke Indonesia tidak berlanjut ke investasi di sektor riil. Dana tersebut hanya mampir dan bertengger beberapa saat saja di pasar saham, surat berharga, atau di pasar uang dengan motif dagang, bukan motif investasi.
Kondisi dan situasi seperti itulah yang menjadi mainan dari para spekulan asing. Yaitu dananya dibelikan beli saham, surat utang negara (SBI) yang berbunga relatif tinggi tersebut. Setelah itu dananya kabur lagi dan itulah yang menjadikan rupiah bergoyang lagi. Kunci solusinya adalah perkuat fundamental perekonomian.***