‘’Sebutan mandi belimau ini macam-macam, berubah-ubah. Di Kampung Bandar ada juga yang menyebutnya dengan potang balimau, bahkan dijadikan kegiatan dengan nama potang mogang. Kalau orang Melayu Pekanbaru yang di Tanjung Rhu, memang Mandi Belimau saja. Beda antara orang Kampung Bandar dengan Tanjung Rhu,’’ jelasnya.
‘’Orang Melayu Pekanbaru di Kampung Bandar ini logatnya lebih ke Kampar dan Pangkalan. Kalau orang Tanjung Rhu lebih ke daerah pesisir seperti Bengkalis. Yang jelas, Mandi Belimau ini tetap dilaksanakan sampai sekarang. Saya dan keluarga besar saya masih melaksanakan meski ramuannya tidak selengkap dulu lagi. Hutan tak ada lagi yang dekat dengan Kampung Bandar. Terakhir saya dapat akar siak-siak di Tapung. Dulu di Jalan Jati ini saja ada,’’ tambahnya.
Mandi Belimau tidak bisa dipisahkan dengan beberapa kegiatan lainnya yang dilakukan masyarakat Kampung Bandar menjelang Ramadan. Mandi Belimau merupakan prosesi paling akhir sebelum melaksanakan Salat Tarawih pada malam harinya dan menjalankan puasa pada keesokan harinya. Sebelum itu, masyarakat sudah melakukan ziarah makam dan berkunjung ke rumah keluarga untuk bermaaf-maafan. Orang Kampung Bandar menyebutnya dengan Mendapekan. Cucu datang ke rumah atuk (nenek) dan aki (kakek), anak datang ke rumah orangtuanya untuk meminta maaf, menyucikan diri secara batin agar ibadah puasa lebih berkah.
Nama dan Cara yang Berbeda
Jika di Pekanbaru disebut mandi belimau atau petang belimau atau petang megang atau potang mogang, di Rokan Hulu (Rohul) namanya turun mandi balimau atau mandi bakasai. Nama yang beda, caranya juga tak persis sama. Tapi, tujuannya tetap sama; mandi membersihkan diri menyambut tibanya bulan suci Ramadan. Masyarakat Rohul yang melaksanakan balimau kasai ini di daerah Cipang Raya, Kecamatan Rokan IV Koto, salah satunya masyarakat Desa Cipang Kanan. Balimau kasai ini disebut upacara adat dan dilakukan di Sungai Tibawan.
Upacara adat ini diawali dengan pengumuman tentang kepastian pelaksanaan puasa pertama oleh imam masjid setempat. Dilanjutkan dengan prosesi balimau kasai. Pada sore hari menjelang puasa, seluruh masyarakat berkumpul di tengah kampung (los pasar) atau kadang juga di masjid. Begitu juga dengan ninik mamak. Dibentuklah iring-iringan oleh msyarakat sekampung yang merupakan awal dari prosesi balimau kasai tersebut.
Datuk Manaro Sati adalah orang yang diistimewakan atau orang yang diarak menuju sungai. Ia dikawal oleh dubalang yang membawa tombak. Di belakangnya ada ninik mamak, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, cerdik pandai dan seluruh masyarakat. Mereka semua mengenakan pakaian adat. Begitu juga dengan dubalang yang mengawal.
Di samping ninik mamak juga ada bilal masjid yang membawa ramuan dan perlengkapan untuk balimau kasai. Perlengkapan ini diletakkan di dalam mangkuk dan mangkuk dimasukkan dalam carano (wadah khusus) yang ditutup rapat. Di bagian belakang ninik mamak dan tokoh masyarakat ada rombongan dikie rupano yang melantunkan puji-pujian diiringi musik dikie rupano tersebut.
Sesampainya di tepi sungai, imam masjid menyiramkan perlengkapan Balimau Kasai yang sudah dicampur air ke atas kepala Datuk Menaro Sati. Sedang Datuk Manaro Sati berada dalam posisi duduk. Pencak silat tradisi oleh dua pesilat terpilih juga ditampilkan dan meramaikan serta menjadi bagian penting dalam prosesi mandi balimau ini.
Setelah Datuk Manaro Sati disiram dengan perlengkapan Balimau Kasai, seluruh masyarakat baru boleh turun ke sungai dan mandi dengan perlengkapan yang sudah disiapkan masing-masing dari rumah. Suasana meriah penuh kekompakan terlihat jelas dari tepian Sungai Tibawan yang menjadi tempat proses balimau setiap tahun tersebut.
Puluhan Macam Ramuan
Ramuan atau perlengkapan balimau kasai ini tidak asal dibuat. Ramuan ini dibuat dari 33 macam daun dan akar-akaran yang diambil dari hutan terdekat. Jika 33 macam jenis ini tidak ditemukan, jumlah bahan ramuan harus ganjil. Minimal harus lebih dari tujuh macam. Semakin banyak jenisnya, diyakini semakin bagus dan berkhasiat.
Perlengkapan atau ramuan balimau kasai ini telah dibuat secara turun-temurun. Selain untuk wewangian, juga sebagai simbol atas kedekatan dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam sekitar. Artinya, masyarakat masih mengandalkan apa yang ada di alam luas sebagai keperluan dalam menjalankan dan menjaga tradisi yang ada. Menjalankan tradisi balimau kasai, diyakini juga sebagai upaya menjaga dan merawat alam sekitar.
Meski ramuan ini dibuat khusus oleh orang yang ditunjuk, tapi bahannya boleh diambil siapa saja dari hutan terdekat. Bahkan mayoritas anak-anak yang mencarinya. Ekawati, selaku pembuat ramuan, mengatakan, dengan melibatkan anak-anak diharapkan tradisi ini semakin dekat dengan generasi berikutnya dan tidak menjadi sesuatu yang asing serta ditinggalkan. Dengan kata lain, sebagai bentuk pewarisan yang dilakukan orang tua kepada anaknya secara langsung.
Berbagai jenis ramuan tersebut antara lain, akar sisiak, siporun, akar capo, warlancang, kebelu, tampuak lawang, daun serai wangi, sirih duduak, mumuto, tokolu beruang, akar lolomeh, akar sicorek, daun limau purut, cokue, akar usar, dan masih banyak lainnya. Bahan-bahan ini dicincang halus dan dicampur dengan minyak goreng. Lalu dibungkus dengan daun pisang dan dipanggang di atas bara.