Tak ketinggalan pula pandangan berbagai kalangan, bahkan termasuk Bank Dunia, yang memperkirakan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh 5,5 persen pada tahun 2016, meskipun luka 2015 sama sekali tidak terhapuskan. “Tapi kenaikan itu kan lebih baik dibandingkan kalau stagnan, apalagi justeru mundur,” tulis saya kepada Wahab. Saya tambahkan pula, prosedur penyusunan APBD sekarang telah sesuai dengan yang diharapkan, sehingga implentasi penggunaan anggaran akan jauh lebih baik dibandingkan 2015.
Dengan menyebut gambaran 2016 itu pula, berbagai hal mikro ekonomi tahun 2015, sama sekali tidak dilupakan begitu saja. Harga karet yang rendah dan kemiskinan yang makin meluas tampaknya memang tidak terhindarkan karena itulah kenyataannya, tetapi semangat untuk memperbaikinya tentu akan lebih baik daripada meratapinya. Setidak-tidaknya, belum ditemui laporan adanya masyarakat yang meninggal akibat kelaparan. “Kalau disebut susah, siapa masyarakat umum yang tidak susah sekarang ini kan?”
Tak dapat saya bantah SMS Wahab yang kemudian tertera di telepon genggam saya, “Ya, kalau tidak optimis, mau apa lagi kan? Aku baca sms-smsmu yang dibalut oleh kemantapan melangkah ke depan, ke tahun baru 2016, tetapi sekaligus kurasakan keperihannya.”
Ia menulis lagi, hal-hal semacam itu menyebabkan ia teringat pada berbagai cerita. “Orang Melayu tu, meninggal karena karam di laut saja masih dianggap beruntung. Misalnya disebutkan, oh untung mayatnya masih dapat ditemukan, padahal banyak yang terjadi sebaliknya. Kalau mayat si korban tidak ditemukan, ia dianggap masih hidup dan sebagainya,” tulis Wahab.
Pada gilirannya, Wahab menulis bahwa berusaha menjadi lebih baik adalah kewajiban, sedangkan hasilnya dari awal sampai akhir, berada dalam kuasa Allah SWT. Keiinginan berbuat baik memang harus dilandai oleh pikiran optimisme yang justeru hanya akan muncul ke permukaan akibat tidak melupakan hal-hal sebaliknya. “Mari kita mengakhiri langkah 2015, sembari memasuki jalan 2016 ini, dengan menyebut nama Yang Mahatinggi itu pula. Bismillah...”***