Oleh: Bagus Santoso, Mahasiswa S3 Ilmu Politik, Anggota DPRD Provinsi Riau
SETIAP memasuki tahun politik, para politisi tanpa disadari mencoba menerapkan manajemen rasa mendekati rakyat. Lihatlah untuk mengambil simpatik publik pada umumnya terutama politisi pemula banyak bermunculan menggunakan narasi keberpihakan kepada rakyat.
Menebar empati seakan merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat melalui gerakan berbagi. Terjun langsung di tengah rakyat ; kerja bakti bersihkan got, makan di warung kaki lima, aktif gotong royong, gelar berbagai macam turnamen hingga menggandeng ustaz ceramah. Pokoknya semua yang serba merakyat dilakukan untuk menunjukkan empatinya.
Karena itu tulisan ini menjadi menarik di kedepankan walau terbilang konsep baru, karena selama ini belum ditemukan dalam literatur ilmu manajemen klasik maupun modern. Konsep “Manajemen rasa” ini bukan hanya sekadar baru, tetapi juga mengandung energi yang luar biasa dahsyatnya dalam mengelola semua potensi daerah dan bangsa menjadi negara tangguh. Berikut penjelasannya.
Manajemen Rasa ini terinspirasi dari salah satu hadis Nabi yang mengatakan “Perumpamaan orang mukmin dalam hal saling kasih, saling menyayang dan saling cinta adalah seperti sebuah tubuh, jika ada satu anggotanya merasa sakit, maka anggota-anggota tubuh lainnya ikut merasakan sulit tidur dan demam” (HR. Muslim).
Kalau kemudian hadis Nabi ini dipakai untuk menjelaskan Manajeman Rasa dalam konteks kepemimpinan negara atau daerah, maka penekanannya adalah “Senyum bahagia seorang pemimpin adalah senyum bahagia rakyatnya, sebaliknya tangis derita rakyat adalah tangis derita pemimpinnya”.
Bisa dibayangkan betapa bagaimana majunya suatu negara kalau pemimpinnya menerapkan Manajemen Rasa dalam mengelola seluruh potensi negara itu. Empati pemimpin terhadap rakyatnya melebihi seluruh kepentingan yang mengelilinginya. Tidak menempatkan rakyat hanya sebagai obyek pembangunan tetapi sebagai mitra dalam membangun daerah dan bangsanya.
Tidak hanya datang melamar rakyat pada saat musim kampanye, tapi pengabdiannya kepada rakyat tanpa batas tanpa syarat. Tidak datang membagi-bagikan money politic bentuk sembako maupun recehan yang merendahkan rakyat, tapi konsisten dari awal menebar jaring-jaring sosial pemberdayaan potensi rakyatnya.
Karena sejatinya tugas utama seorang pemimpin adalah memastikan apakah tangga menuju kesejahteraan rakyatnya telah bersandar pada dinding yang tepat. Jangan sampai tangga kesejahteraan rakyatnya bersandar pada dada pemimpin yang lemah, rapuh, dan gampang diombang-ombingkan oleh kepentingan orang-orang yang mengelilingi demi kepentingan sesaatnya, tapi tangga kesejahteraan rakyat itu harus bersandar pada dada pemimpin tangguh, yang tidak akan roboh oleh serangan liberalisme ideologi.
Konsep Manajemen Rasa ini terbilang sangat ideal sehingga agak susah ditemukan dalam diri seorang pemimpin, terlebih pemimpin yang dikelilingi oleh kaum Machiavellian. Faktanya hampir semua pemimpin hanya merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya yang walaupun sudah bekerja keras seharian baru cukup untuk tidak kelaparan besok harinya, itu hanya ketika memasuki musim kampanye pemilu. Kemiskinan, kepapaan dan ketidaktahuan rakyat dihargai dengan 5 liter beras , atau selembar uang lima puluh ribuan.
Karena itu menuju Pemilu 17 April 2019, rakyat merindukan pemimpin yang menerapkan Manajemen Rasa dengan berteriak lantang, “Wahai rakyatku, deritamu deritaku, air matamu air mataku, senyumku senyum rakyatku, bahagiaku bahagia rakyatku. Wahai rakyatku, sandarkanlah tangga kesejahteraanmu di dadaku yang rela di tembus peluru sekalipun demi rakyatku”.
Pada dasarnya inilah inti makna yang terkandung dalam makna habluminallah wa habluminannas, di mana berserah diri ke atas menengadah ke Tuhan, dan ke sesama umat menebar silaturahmi, atau senantiasa membangun nilai-nilai spiritual, merangkum dan menebar nilai-nilai sosial. Mudah-mudahan catatan tulisan ini bisa menginspirasi seluruh pemimpin dan politisi negeri ini menerapkan Manajemen Rasa, sehingga negara menjadi maju dan rakyat menjadi makmur.
Bahwa, tidak ada negara gagal karena pemimpin dan politisinya fokus memakmurkan rakyatnya. Jadi kepemimpinan apa pun ditangannya, jangan menunda menerapkan Manajemen Rasa, lalu bersiaplah menjadi pemimpin yang selalu dirindukan rakyatnya.***