JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Deklarasi dukungan yang muncul dalam kegiatan Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) di Senayan, Selasa (29/3) dinilai sebagai upaya terstruktur. Tujuannya, untuk terus menghidupkan isu perpanjangan masa jabatan presiden. Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraeni mengatakan, narasi tersebut sengaja dibangun untuk mencari legitimasi. Sehingga ada kesan dukungan dari masyarakat.
Terlebih, klaim data dukungan yang selama ini disampaikan tidak jelas sumber dan metodologinya. "Karena narasi yang ingin dibangun (adalah) populisme kepemimpinan untuk kebutuhan perpanjangan (jabatan)," ujarnya, kemarin (30/3). Cara-cara populisme, lanjut Titi, menjadi praktik yang lumrah dilakukan para pemimpin yang di berbagai belahan dunia yang memiliki niat memperpanjang masa jabatan. Namun sayangnya, cara mobilisasi itu bukan hal baik bagi kehidupan demokrasi Indonesia.
Di berbagai negara, penghianatan terhadap konstitusi justru berujung petaka. Misalnya di Guinea yang berakhir dengan kudeta militer karena perpanjangan tiga periode. Dia mengingatkan para elit untuk konsisten dengan aturan konstitusi terkait pembatasan kekuasaan. Pakar Hukum Tata Negara Zaenal Arifin Mochtar megatakan hal senada. Dia mensinyalir, dikerahkannya Apdesi adalah bagian dari upaya untuk membangun kepercayaan publik. Dalam bahasa politik, trik tersebut disebut dengan demagog. "Mengagregasi suara publik hanya untuk membenarkan kepentingan pribadi," ujarnya.
Sosok yang akrab disapa Uceng itu menilai, pengerahan Apdesi sudah termasuk dalam penyimpangan. Sebab sudah masuk dalam upaya pemanfaatan struktur negara untuk kepentingan politik tertentu. Apalagi, sikap tersebut terlihat tidak cukup kuat. Mengingat pernyataan berbeda justru disampaikan oleh Apdesi kubu Arifin Abdul Majid. Saat dihubungi Jawa Pos, Arifin selaku Ketua Apdesi menegaskan pihaknya tidak pernah menyampaikan sikap apapun. "Iya tidak mewakili lembaga kami yang berbadan hukum," ujarnya.
Arifin mengklaim, kepengurusan Apdesi yang sah merupakan kubu dirinya. Hal itu sesuai dengan SK Kementerian Hukum dan HAM Nomor AHU-0001295- AH.01.08 Tahun 2021. Terpisah, Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti juga mengkritik rencana deklarasi Jokowi tiga periode yang akan dilakukan Apdesi. Menurut dia, langkah politik itu akan menabrak konstitusi yang telah mengatur secara jelas jabatan presiden hanya dua periode. "Saya harap mereka tahu apa sanksi dari pelanggaran konstitusi," terangnya.
Presiden Joko Widodo kemarin juga menanggapi isu itu. Menurutnya, semua pihak harus taat pada konstitusi yang sudah jelas mengatur soal masa jabatan presiden.
"Yang namanya keinginan masyarakat, yang namanya teriakan-teriakan seperti itu kan sudah sering saya dengar," katanya usai meninjau Candi Borobudur di Kabupaten Magelang kemarin. Dia menegaskan bahwa aturan konstitusi Indonesia sudah jelas. Seluruh pihak harus taat terkait hal itu.
Keterbukaan Informasi Big Data
Wacana penundaan pemilu ataupun jabatan tiga periode terus direspons masyarakat sipil. Indonesia Corruption Watch (ICW) resmi mengajukan keterbukaan informasi kepada Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Seperti diketahui, Luhut mengklaim memiliki big data dari 110 juta pengguna internet Indonesia yang menginginkan kepemimpinan Presiden Jokowi dilanjutkan. Luhut lantas menggulirkan wacana perpanjangan masa jabatan.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyatakan, setiap data yang disampaikan pejabat publik harus mampu dijelaskan secara metodologi sebagai bentuk pertanggungjawaban. Mengacu pada ketentuan UU Keterbukaan Informasi Publik, klaim yang disampaikan Luhut tidak termasuk yang dikecualikan. "Apalagi, yang bersangkutan menduduki jabatan cukup penting di RI ini sehingga apa yang keluar dari ucapannya harus bisa dijelaskan secara klir," ujarnya.(jpg)
Laporan JPG, Jakarta