JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menerapkan darurat sipil dalam menangani pandemi virus corona atau Covid-19 di Indonesia. Namun hal itu menimbulkan pro dan kontra.
Menanggapi hal tersebut, Ketua DPP Partai Demokrat, Jansen Sitindaon mengatakan, darurat sipil ini adalah pilihan yang sangat pragmatis dan power oriented.
“Tidak ada keberpihakan kepada masyarakat yang tidak mampu. Kesannya mau mengendalikan publik, tapi tidak mau menanggung hidup mereka,” unjar Jansen kepada JawaPos.com, Selasa (31/3).
Menurut Jansen, Indonesia sudah punya UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Sehingga hal itu semestinya yang bisa digunakan metimbang memilih darurat sipil.
“Kenapa pemerintah tidak mengacu pada perangkat hukum yang tersedia ini saja? Apalagi ini UU dibuat saat masanya Pak Jokowi,” katanya.
Jansen berujar, dalam UU Nomor 6/2018 ini juga sudah mengatur hal darurat. Sekaligus mengandung unsur memaksa kepada publik tetapi memperhatikan kepentingan dan kebutuhan dasar mereka ditengah wabah Korona ini.
“Ini soal orientasi dan tujuan kita bernegara yaitu melindungi nyawa rakyat sekaligus membantu masyarakat tetap bisa menjalani kehidupan dalam batas-batas yang minimum,” ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil yang secara tegas mendesak Presiden Jokowi untuk melupakan keinginannya untuk menerapkan darurat sipil dalam mengatasi wabah virus Korona.
Menurut Nasir, selain rentan berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM), darurat sipil menunjukkan kebingungan pemerintah dalam menghadapi pandemi virus Korona ini.
“Terus terang saya bingung dengan wacana Presiden Jokowi yang ingin memberlakukan darurat sipil. Rencana ini menunjukkan cara berpikir bukan menggerakkan fungsi organisasi, melainkan pendekatan kekuasaan semata. Apa beliau tidak tahu risikonya,” ujar Nasir Djamil kepada wartawan, Selasa (31/3).
Menurut Nasir yang perlu dilakukan oleh Presiden Jokowi adalah menerapkan secara konsisten UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana dan UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan.
Politikua Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga menilai Pemerintah belum optimal dan maksimal dalam menerapkan kedua UU itu.
“Justru yang mendesak dilakukan adalah membuat alur komando kendali (kodal) bencana yang lebih jelas. Ketiadaan kodal membuat upaya menanggulangi wabah virus Korona berjalan parsial tanpa koordinasi yang terukur dan teratur. Jadi perlu Perpres utk tugas dan fungsi kodal,” katanya.
Selain itu Nasir juga mendesak pemerintah agar jangan berlama-lama untuk memberikan kompensasi atau intensif kepada pihak-pihak yang terdampak dari kebijakan karantina wilayah, baik ekonomi, sosial, psikis, dan medis.
“Intinya dalam suasana menghadapi pandemi virus corona jangan banyak berwacana tapi kerja nyata yang dilindungi oleh regulasi yang jelas,” ungkapnya.
Diketahui, sebelumnya Presiden Jokowi mengatakan, dalam menangani pandemik virus Korona atau Covid-19 di Indonesia, dibutuhkan physical distancing dengan skala lebih besar.
Adanya physical distancing ini juga harus selaras dengan kebijakan darurat sipil. Sehingga penanganan virus Korona di Indonesia bisa berjalan baik.
“Kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif. Bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil,” ujar Presiden Jokowi.
Oleh sebab itu Jokowi meminta untuk segera dibuatkan payung hukum. Sehingga pembatasan sosial atau physical distancing dengan skala besar bisa dilakukan dengan baik oleh pemerintah daerah.
Diketahui, darurat sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Perppu tersebut mencabut Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957. Perppu ini ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 16 Desember 1959.
Dalam Perppu tersebut dijelaskan ‘keadaan darurat sipil’ adalah keadaan bahaya yang ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang untuk seluruh atau sebagian wilayah negara.
Aturan yang paling dikhawatirkan yakni isi pasal 17 Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Menetapkan keadaan bahaya.
Penguasa Darurat Sipil berhak:
1. Mengetahui,semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang dipercakapkan kepada kantor telepon atau kantor radio, pun melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-percakapan dengan perantaraan telepon atau radio.
2. Membatasi atau melarang pemakaian kode-kode, tulisan rahasia, percetakan rahasia, tulisan steno, gambar-gambar, tanda-tanda, juga pemakaian bahasa-bahasa lain dari pada bahasa Indonesia;
3. Menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi sepertinya telepon, telegrap, pemancar radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga mensita atau menghancurkan perlengkapan-perlengkapan tersebut.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman