JAKARTA (RP) - Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan baru untuk menyambut Pemilu 2014.
Ada dua aturan yang diubah MK dalam sidang putusan uji materi Undang-undang (UU) Nomor 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD itu.
Pertama, tentang verifikasi ulang seluruh partai politik (Parpol) dan ambang batas parlemen alias parliamentary threshold (PT).
Ketua MK Mahfud MD mengatakan, pasal 8 ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 208 UU Pemilu melanggar konstitusi. Pasal 8 yang mengatur verifikasi partai (yang hanya untuk non-parlemen) dianggap menjurus pada diskriminasi.
‘’(Karena itu, red), semua partai politik yang akan ikut Pemilu harus mengikuti verifikasi,’’ kata Mahfud dalam sidang putusan di gedung MK, Rabu (29/8).
Bagi MK, bukan tanpa alasan dua pasal tersebut digugurkan. Sebab, jelas Mahfud, persyaratan Parpol untuk mengikuti Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 berbeda.
Dengan demikian, MK menganggap tidak fair jika partai yang lolos di Pemilu sebelumnya tetap dipakai pada Pemilu 2014. ‘’Seharusnya, kalau melakukan ukuran verifikasi (Parpol) harus sama,’’ tuturnya.
Mahfud menegaskan Parpol mana saja yang harus melakukan verifikasi ulang itu. Yakni, semua partai berbadan hukum, pemilik kursi di DPR maupun tidak, harus diperlakukan sama.
Begitu juga partai baru yang dinyatakan bisa mengikuti Pemilu. ‘’Semuanya harus mengikuti verifikasi dengan syarat yang sama,’’ tegas pria kelahiran Madura tersebut.
Setelah sidang putusan, MK kembali memastikan bahwa pasal 8 ayat 1 dan penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945. Begitu juga pasal 8 ayat 2 untuk frasa: yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru.
‘’Yang dimaksud dengan partai politik baru adalah partai politik yang belum pernah mengikuti Pemilu,’’ terangnya.
Khusus untuk pasal 208 yang mengatur PT, hakim MK menggarisbawahi frasa: DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Menurut Mahfud, MK sebenarnya sepakat dengan konsep PT sebesar 3,5 persen. Sebab, itu bisa menjadi penyederhanaan partai secara alamiah melalui seleksi rakyat.
Namun, ketika diaplikasikan untuk mengisi kursi di DPRD, aturan tersebut dianggap kurang tepat. Bahkan, mantan Menteri Pertahanan era Presiden Gus Dur itu menyebut dua masalah.
Pertama, aturan tersebut berpotensi membunuh keberagaman. Ia lantas mencontohkan keberadaan Partai Damai Sejahtera (PDS) yang sangat kuat di Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), namun lemah secara nasional. Kata Mahfud, jika mengikuti aturan yang ada, PDS tentu tidak memiliki hak untuk mendapatkan kursi.
‘’Masak kursinya dihabisin? Itu membunuh keberagaman, jadi kami batalkan,’’ papar Mahfud.
Dengan ketentuan tersebut, partai yang kurang kuat secara nasional nanti tetap bisa memperoleh kursi di daerah. ‘’Berapa pun yang diperoleh partai tersebut di daerah, kursi untuk menempatkan wakil rakyat harus diberikan,’’ tuturnya.
Kedua, kalau aturan tersebut tidak dibatalkan, kemungkinan munculnya kursi di DPRD yang terbagi cukup besar. Ia kembali mencontohkan, kalau Pemilu diikuti 30 partai, artinya rata-rata tiap partai mendapatkan 3,3 persen. Nah, angka tersebut tak sesuai dengan PT sehingga kursi tidak bisa dibagi.
Begitu juga halnya ketika hanya ada tiga partai yang mencapai 7 persen dan yang lain tidak mencapai PT. Artinya, total partai yang berhak mendapatkan kursi 21 persen. Kalau seperti itu, kata Mahfud, ada kursi yang tidak terbagi. ‘’Hal seperti itu melanggar konstitusi karena kursinya tidak habis. Karena itu, (pasal 208) harus dibatalkan,’’ tegasnya.
Sementara Hakim MK, Achmad Sodiki, mengatakan, dalam putusan Nomor: 52/PUU-X/2012, pasal 8 ayat 1 dan 2, pasal 17 ayat 1, pasal 208, serta pasal 209 ayat 1 dan 2 UU Pemilu semuanya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat.
‘’Hal itu justru bertentangan dengan ketentuan konstitusi yang menghendaki Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD, yang ternyata tidak tercapai karena kursi tidak terbagi habis, atau akan terjadi hanya satu partai politik yang duduk di DPRD yang dengan demikian tidak sejalan dengan konstitusi,’’ kata Achmad menjelaskan.
Sementara itu, menurut Hakim Majelis Konstitusi, Ahmad Fadlil Sumadi, pemberlakuan PT secara nasional yang mempunyai akibat hukum pada hilangnya kursi-kursi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR.
Namun, sambung dia, partai politik bersangkutan memenuhi ketentuan bilangan pembagi pemilih di daerah, dan menjadikan kursi-kursi tersebut dimiliki partai politik lain yang sebenarnya tidak memenuhi bilangan pembagi pemilih namun memiliki kursi di DPR.
‘’Justru bertentangan dengan kedaulatan rakyat dan tujuan pemilihan umum itu sendiri,’’ ujar Ahmad Fadlil.
Pendapat berbeda (dissenting opinion) disampaikan oleh hakim MK, Akil Mochtar yang mengatakan, penerapan model parliamentary threshold dalam sistem Pemilu Indonesia tidak sejalan dengan tujuan penyederhanaan sistem kepartaian dalam rangka efektifitas sistem presidensiil melalui penguatan kelembagaan parlemen.
‘’Demokrasi harus mampu memberikan jaminan sebesar-besarnya untuk perlindungan kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat, dan berkumpul. Pembatasan yang ketat atas perlindungan kebebasan tersebut merupakan pemberangusan terhadap nilai-nilai demokrasi,’’ ucap Akil.
Selain itu, lanjut Akil, penerapan model parliamentary threshold mengakibatkan terhambatnya saluran aspirasi dari kelompok minoritas dalam sistem bangunan kenegaraan Indonesia yang demokratis dan dijamin oleh UUD 1945.
‘’Putusan Nomor 3/PUUVII/2009 bahwa model parliamentary threshold, sebagaimana diatur pada pasal 208 UU 8/2012, dalam rangka penyederhanaan sistem kepartaian Indonesia adalah bertentangan dengan UUD 1945,’’ ungkap Akil.
Parpol Pilih Menerima
Mayoritas partai di DPR memilih berlapang dada terkait dengan putusan MK yang mewajibkan seluruh parpol mengikuti verifikasi. Namun, menyangkut ambang batas 3,5 persen yang hanya berlaku di tingkat nasional, hampir semua parpol di perlemen menyatakan kecewa.
‘’Putusan MK soal ambang batas 3,5 persen berlaku nasional tidak mendorong konsolidasi demokrasi. Putusan itu membiarkan kompleksitas multipartai terpelihara,’’ tegas Sekjen DPP PPP M Romahurmuziy, Rabu (29/8).
Menurut dia, terkotak-kotaknya masyarakat dalam banyak parpol seperti kondisi saat ini masih akan berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama.
‘’Sebagai parpol yang ikut memutuskan UU Pemilu, kami sesalkan putusan itu. Tapi, sebagai institusi yang taat konstitusi, kami menghormati dan siap menjalankan putusan tersebut,’’ tuturnya.
Pandangan senada disampaikan Ketua DPP PKB Marwan Jafar. Menurutnya, pemberlakuan PT yang hanya di tingkat pusat sebenarnya telah mereduksi semangat penyederhanaan parpol. ‘’Yang namanya parpol dalam koordinasi ya dari DPR pusat sampai daerah, tapi kami tetap menghormati,’’ ujar Marwan.
Wakil Ketua DPP Bidang Kebijakan Publik PKS Agus Purnomo juga kurang sependapat dengan putusan MK yang mengubah PT 3,5 persen hanya untuk DPR.
Menurutnya, PKS menginginkan agar PT sebaiknya diberlakukan secara nasional dengan aturan berjenjang. Dengan begitu, tingkat provinsi dan kabupaten/kota tetap mengatur PT meski angkanya berbeda.
‘’Kalau hanya di pusat (DPR, red), susah membentuk multipartai sederhana,’’ ungkapnya.
Di tempat terpisah, Ketua DPP PAN Bima Aria Sugiarto memastikan, partainya tidak khawatir atas putusan MK. ‘’PAN sangat siap untuk diverifikasi. Kami memang sudah mengantisipasi putusan MK dan memiliki struktur yang sudah kuat,’’ katanya.(dim/ila)