JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Transparency International Indonesia (TII) bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeber Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2018, kemarin. Hasilnya, skor yang diperoleh Indonesia naik tipis. Dari 37 pada 2017 menjadi 38 pada tahun lalu.
Praktik korupsi dalam sistem politik menjadi salah satu masalah yang perlu jadi perhatian agar skor IPK naik. Sekjen TII Dadang Trisasongko menyampaikan, korupsi yang berhubungan langsung dengan dunia politik disebabkan beberapa hal. Termasuk di antaranya sistem politik yang memicu terjadinya korupsi.
”Transaksi di dunia gelap nggak ada yang pernah tahu. Itu yang harus dipikirkan bagaimana mencegahnya,” terang dia seusai pemaparan di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (29/1).
Konflik kepentingan antara pejabat politik dengan keluarga atau kerabat dekat juga kerap menjadi masalah yang membuat korupsi kian rumit. Dadang mencontohkan korupsi KTP-el yang menyeret mantan Ketua DPR Setya Novanto.
”Tidak ada instrumen hukum (Indonesia yang bisa) mencegah konflik kepentingan,” ujarnya.
Apabila kasus itu tidak terungkap, belum tentu keterlibatan keluarga Setya terbongkar. Karena itu, Dadang menilai, pembenahan lembaga politik harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengatakan, korupsi yang melibatkan pejabat politik memang banyak. Buktinya, KPK berulang kali menangkap bupati, wali kota, gubernur, pimpinan dan anggota dewan di daerah maupun di level pusat. Jumlah totalnya mencapai 337 orang. Padahal, KPK sudah melakukan berbagai upaya agar pejabat politik tidak terseret korupsi. Sayang, belum semua pejabat politik patuh. Pria yang akrab dipanggil Laode itu mencontohkan, tingkat kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
”Jakarta yang betul-betul barometer Indonesia, tidak satu pun melapor LHKPN,” imbuhnya.
Lebih jauh, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro menyampaikan, persoalan korupsi harus diselesaikan dari akarnya. ”Kalau lihat kejadian korupsi masa lalu, adanya negosiasi tatap muka dan adanya perjanjian khusus beberapa pihak akan berujung pada perilaku korupsi,” terang dia.
Ke depan, pemerintah bakal berusaha agar hal itu tidak terjadi lagi. Tahap awal yang dilakukan adalah membikin sistem berbasis elektronik dan online.
”Baik pengadaan atau perizinan,” imbuhnya.
Dengan begitu, akses pertemuan atau negosiasi yang berpotensi korupsi dapat dikurangi. Selain itu, upaya-upaya lain juga terus didorong supaya korupsi yang banyak melibatkan pejabat politik juga berkurang.(syn/oni/jpg)