YOGYAKARTA (RP) - Gubernur DIJ Sultan Hamengku Buwono (HB) X menunggu momentum yang tepat untuk meninggalkan Partai Golkar. Sultan sudah sekitar 30 tahun beraktivitas di partai berlogo beringin tersebut.
"Untuk mengundurkan diri itu mesti ada (rencana), kalau itu ada dalam undang-undang (RUUK). Nanti cari momentum dulu," kata Sultan di Kepatihan Pemprov DIJ, Selasa (28/8).
Sejak awal, kata Sultan, parpol di DPR mengajukan syarat agar dirinya menjadi nonpartisan atau tidak tergabung ke parpol. Menurut dia, hal itu dituangkan dalam RUUK dan harus dipatuhi.
Secara terpisah, Ketua DPD Partai Golkar DIJ Gandung Pardiman menyatakan, pihaknya menerima keputusan Sultan jika memang RUUK mewajibkan hal tersebut. "Kami legawa. Ngarso Dalem mundur dari Golkar kan hanya formalitas. Saya yakin hatinya masih di sini (Partai Golkar)," ujar Gandung.
Meski begitu, kata dia, Sultan hanya tidak diperbolehkan menjadi kader partai politik tertentu, tapi hak-hak politiknya tetap ada. "Tak boleh berpolitik dalam arti menjadi politikus. Tapi, tidak ada larangan untuk berpolitik," kata anggota DPR RI itu.
Hal tersebut dibenarkan oleh anggota Tim Asistensi Achiel Suyanto. Sultan dan Paku Alam yang bertakhta tetap memiliki hak berpolitik. Kata advokat ini, Sultan dan Paku Alam tetap memiliki hak untuk dicalonkan sebagai capres maupun cawapres.
"Sultan dan Paku Alam tidak dilarang berpolitik. Namun, mereka tidak berpartai politik. Tidak ada kata-kata dilarang berpolitik. Di RUUK dikatakan calon gubernur dan wakil gubernur saat akan dicalonkan otomatis tidak berpartai politik. Kalau nanti (setelah jadi gubernur) ada partai politik yang mencalonkan (dalam pilpres) itu urusan lain," jelasnya.
Sementara itu, kerabat keraton, GPBH Prabukusumo menyatakan, tanpa harus dilarang untuk berpartai politik, Sultan pun bisa netral. Hal itu dapat dilihat dari track record Sultan. Meskipun pria yang menjabat gubernur sejak 1998 itu adalah kader Partai Golkar, dia tidak bisa netral dan tidak memberikan keistimewaan tersendiri bagi partai kuning itu.
Mantan kader Partai Demokrat ini menilai seorang sultan yang menjadi gubernur otomatis netral. Dia pun mempertanyakan mengapa DPR getol menuntut seorang sultan dan paku alam harus nonpartisan. "Soalnya, kalau gak netral, beliau (sultan yang bertakhta) akan "dikerjai" anggota DPRD dari partai lain," kata Ketua KONI DIJ ini.
Terlepas dari hal itu, adik HB X ini mengaku menghargai keputusan kakaknya jika memutuskan mengembalikan kartu tanda anggota (KTA) ke partai penguasa di zaman Orde Baru tersebut. "Ya, monggo saja, itu kan hak seorang Sultan," tandas Prabu. (hed/jpnn/c2/agm)