JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pemilu serentak 17 April 2019 dengan lima surat suara yang harus dicoblos, berpotensi membingungkan pemilih kalangan bawah. Pemilih juga hanya berfokus pada pemilihan umum presiden (pilpres), sedangkan pemilu legislatif (pileg) terkesan terlupakan.
Problem-problem itu diungkap dalam diskusi di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), kemarin. Ada banyak kelemahan pemilu ketika dilaksanakan secara serentak.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu Demokrasi August Mellaz mengungkapkan, pemilu serentak membuat perhatian publik nyaris tersita seluruhnya untuk membahas pilpres. Alhasil, perkembangan pileg di tingkat pusat maupun daerah menjadi minim pantauan.
Sementara itu, penyelenggara pemilu di daerah cenderung menunggu instruksi dari pusat. Kurang ada inisiatif untuk memberikan pendidikan bagi pemilih dalam bentuk lain. ”Porsi pilpres boleh dibahas, tapi jangan terkonsentrasi ke sana,” tuturnya.
Anggota DKPP Alfitra Salamm juga mengakui efek samping pemilu serentak itu. Salah satunya adalah tingkat pengetahuan pemilu yang rendah, bahkan di kalangan mahasiswa.
Padahal, mahasiswa dikenal publik sebagai kalangan terpelajar. ”Mahasiswa di Jakarta (berdasar survei, red) tidak peduli tentang hal dasar pemilu,” ungkapnya.
Menurut Alfitra, keserentakan pemilu di UU Nomor 7 Tahun 2017 perlu dievaluasi. ”Bisa juga dipisahkan antara pemilu daerah dan pusat,” lanjut dia.
Artinya, memisahkan pemilu anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota dengan tiga pemilihan lainnya (pilpres, pileg DPR, dan pileg DPD). Dia yakin pemerintah dan DPR juga sudah mulai mengevaluasi format keserentakan itu.
Menurut Alfitra, pemilu serentak dengan lima surat suara membuat masyarakat lebih berkonsentrasi pada pilpres. ”Apalagi, generasi muda, mahasiswa, tidak begitu peduli siapa calon anggota legislatifnya,” tambah dia.
Dampaknya, kualitas anggota legislatif yang terpilih nanti tidak bisa dijamin karena tak ada yang peduli dengan rekam jejaknya.(fat)