Koalisi Pemerintah Wacanakan Presiden Tiga Periode

Politik | Sabtu, 23 November 2019 - 01:41 WIB

Koalisi Pemerintah Wacanakan Presiden Tiga Periode
PELANTIKAN PRESIDEN: Presiden Joko Widodo saat diambil sumpahnya pada pelantikan sebagai presiden periode 2019-2024 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019). (Dery Ridwansah/JawaPos.com

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Amandemen terbatas UUD 1945 ternyata tidak hanya membentuk Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Agenda prioritas MPR itu merembet pada wacana perubahan masa jabatan presiden dan wakil presiden.

Fraksi di MPR terbelah. Ada yang tetap mendorong dua periode seperti saat ini. Ada pula yang satu periode, tetapi ditambah 7–8 tahun. Bahkan, ada fraksi yang menginginkan tiga periode.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Ketua MPR Bambang Soesatyo menyatakan, wacana tersebut merupakan bagian dari aspirasi masyarakat. MPR pun berkewajiban menjaring aspirasi publik tersebut. ’’Kami menyiapkan wadah bagi seluruh aspirasi itu,’’ katanya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin (22/11).

Dia menyampaikan, berubah atau tidaknya masa jabatan presiden sangat bergantung pada aspirasi masyarakat. Selama aspirasi muncul dari publik, MPR tidak boleh memberangus pendapat tersebut.

”Bahwa ada wacana jabatan presiden jadi tiga periode, tidak boleh dibunuh. Biarkan saja berkembang,” tutur Bamsoet, sapaan Bambang Soesatyo.

Meski demikian, secara pribadi, dia berharap masa jabatan presiden tidak sampai direvisi. Tetap dua periode seperti saat ini. Itu juga menjadi pandangan Fraksi Golkar. Pandangan tersebut juga sejalan dengan pendapat Presiden Joko Widodo. Pendapat itu pernah disampaikan presiden saat 10 pimpinan MPR berkunjung ke istana pada Oktober lalu.

”Presiden lebih sepakat tetap dua periode. Juga tata cara pemilihannya harus langsung sama seperti sekarang,” jelasnya.

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid tidak menampik munculnya aspirasi lain dalam amandemen terbatas UUD 1945. Termasuk soal perubahan masa jabatan presiden. ”Aspirasi ini memang beragam,” ujarnya.

Terkait dengan penambahan masa jabatan menjadi tiga periode, wacana itu muncul dari internal koalisi pemerintahan Jokowi. Pertimbangannya, presiden membutuhkan waktu yang lama untuk menjalankan visi-misinya hingga tuntas.

Ada yang meminta masa jabatan presiden cukup satu periode saja, tetapi waktunya diperpanjang menjadi 7–8 tahun. ”Pertimbangannya agar presiden tidak sibuk berkampanye untuk periode berikutnya,” katanya.

Pendapat lain meminta masa jabatan presiden tidak diubah. Artinya, sama dengan saat ini. Cukup dua periode dengan durasi lima tahun per periode. Menurut dia, semua pandangan tersebut masih sebatas wacana. ”Kami tidak bisa melarang orang untuk berwacana,” papar mantan ketua MPR itu.

Bagaimana sikap istana? Kepala Staf Kepresidenan Jenderal Purnawirawan Moeldoko meminta publik tidak terlalu reaktif dalam menanggapi usul perpanjangan masa jabatan presiden tersebut. Dia menyampaikan, hal itu baru sebatas usul yang wajar dalam konteks demokrasi. ”Itu kan baru wacana ya. Wacana boleh saja. Negara demokrasi semua pandangan, pendapat terwadahi ya,” ujarnya.

Dia menambahkan, wacana tersebut perlu ditinjau lebih jauh secara akademik. Dia yakin, seiring berjalannya waktu, kualitas usul tersebut akan terlihat. ”Round table discussion diperluas. Akan mengerucut apakah pandangan itu pas atau tidak dan seterusnya,” imbuhnya.

Meski demikian, istana belum menanggapi secara serius sehingga belum punya sikap apakah setuju atau tidak. ”Itu baru suara-suara dari masyarakat. Kami belum punya sikap. Namanya baru wacana,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar mengungkapkan, wacana amandemen UUD 1945 boleh saja disampaikan. Namun, dia menilai tidak pantas apabila wacana itu ditarik sampai menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. ”Itu ide liar yang tidak senonoh disampaikan,” ujarnya kemarin. Menurut dia, wacana tersebut harus dilawan. ”Buktikan kebutuhan harus tiga (periode) itu apa?” imbuhnya.

Haris menyebutkan, wacana itu menunjukkan adanya potensi otoritarianisme dalam struktur pemerintahan dan negara. Hal itu jelas sangat berbahaya dalam konsep demokrasi. ”Menurut saya, itu pengkhianatan terhadap konsep demokrasi dan konsep konstitusi,” ungkapnya.

Apalagi jika landasan wacana tersebut muncul karena ada kelompok tertentu yang merasa nyaman dengan kepemimpinan presiden saat ini. Seharusnya, lanjut dia, para pejabat melempar wacana yang lebih penting dari sekadar menambah masa kepemimpinan seorang presiden. Yakni, kebutuhan rakyat.

”Masih banyak orang susah. Masih banyak orang butuh keadilan,” imbuhnya. Karena itu, dia menilai wacana tersebut tidak pantas dilempar kepada publik. Banyak hal yang lebih penting ketimbang berbicara urusan kekuasaan.

Sumber: jawapos.com
Editor: Deslina









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook