JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Dalam putusan uji materi Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) presiden dan pemilu anggota legislatif secara terpisah bertentangan dengan konstitusi.
Namun, MK memutuskan bahwa pelaksanaan pemilu secara serentak tidak bisa diterapkan untuk Pemilu 2014.
Pelaksanaan tahapan Pemilu 2014 yang sudah berjalan terlalu jauh menjadi pertimbangan MK dalam membuat keputusan tersebut.
Menurut MK, perubahan dalam undang-undang akan menyebabkan tahapan yang saat ini telah dan sedang berjalan menjadi terhambat karena kehilangan dasar hukum.
"Hal demikian dapat menyebabkan pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2014 mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945," kata hakim Ahmad Fadlil Sumadi membaca putusan di gedung MK, Jakarta, Kamis (23/1).
Selain itu, lanjut Ahmad, untuk mewujudkan pemilu serentak perlu ada peraturan baru sebagai dasar hukumnya. Berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945, ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum harus diatur dengan undang-undang.
Menimbang masa jabatan presiden dan anggota legislatif yang tinggal tersisa beberapa bulan saja, pemilu serentak juga sangat sulit dilakukan.
"Jika dipaksakan untuk Pemilu 2014, menurut penalaran yang wajar, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau sekurang-kurangnya tidak cukup memadai untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif," paparnya.
Lebih lanjut Ahmad mengatakan bahwa diperlukan kesadaran politik dan budaya hukum yang baik dari masyarakat sebelum menerapkan pemilu serentak. Karenanya, mahkamah berpendapat penerapan pemilu serentak tidak boleh dilakukan secara mendadak.
"Memang diperlukan waktu untuk menyiapkan budaya hukum dan kesadaran politik yang baik bagi warga masyarakat, maupun bagi partai politik untuk mempersiapkan diri dan melaksanakan agenda penting ketatanegaraan," ujar Ahmad. (dil/jpnn)