JAKARTA (RIAUPOS.CO) - PEMERINTAH menaikkan dana transfer daerah musim depan. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang disampaikan pemerintah ke parlemen, angkanya mencapai Rp832,3 triliun. Jumlah itu meningkat 9 persen jika dibandingkan dengan realisasi di tahun ini.
Koordinator Investigasi Center for Budget Analysis (CBA) Jajang Nurjaman menilai naiknya dana transfer menunjukkan mayoritas daerah belum mandiri secara keuangan. Sehingga alokasi dari pusat terus mengalami kenaikan. “Tiap tahun pasti naik,” ujarnya kepada JPG, Ahad (19/8).
Jajang menambahkan, menaikkan besaran anggaran saja sebetulnya belum cukup. Pasalnya, jika pengawasannya tidak ditingkatkan, kenaikan dana transfer tidak memberikan
dampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan. Dia menilai, ada dua persoalan krusial yang selama ini banyak mewarnai pengelolaan keuangan di daerah. Pertama menyangkut penyerapan. Berdasarkan pengalamannya meneliti, serapan anggaran di daerah relatif rendah. Dalam semester pertama, tidak banyak daerah yang bisa menyerap sampai 30 persen. Kecenderungannya daerah baru merealisasikan secara masif jelang tutup tahun anggaran. “Bahkan kemarin sampai dikatakan Presiden Jokowi, beberapa daerah saja yang cukup maksimal,” imbuhnya.
Jajang menilai, penggunaan dana yang fokus di akhir cenderung tidak efektif dan terkesan hanya menghabiskan. Rendahnya penyerapan tersebut, menurutnya, dipengaruhi sejumlah penyebab. Mulai dari keterlambatan pencairan dari pusat, hingga kurang kreatifnya kepala daerah untuk merealisasikan. Oleh karenanya, dia menilai persoalan tersebut bisa diperbaiki. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah menyiapkan skema reward and punishment. Untuk daerah yang penyerapannya bagus misalnya, pemerintah bisa menambah insentif dalam dana transfer tahun selanjutnya.
”Selama ini belum ada mekanisme yang tegas,” tuturnya.
Kedua, menyangkut praktik korupsi. Jika melihat banyaknya operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap kepala daerah, pengelolaan keuangan daerah masih cukup rawan penyalahgunaan. Untuk itu, Jajang mendorong pemerintah melakukan pengawasan di tengah meningkatnya dana transfer. Nah, salah satu cara yang dapat diambil adalah mempercepat proses penguatan inspektorat. Menurutnya, penguatan inspektorat selaku aparat di internal cukup efektif untuk menekan penyalahgunaan. Sebab, inspektorat merupakan lembaga yang mengawasi sejak awal perencanaan. Hanya saja, secara struktural lembaganya masih di bawah kepala daerah sehingga sulit untuk bertindak tegas. “Dia tahu tapi tidak bertindak. Inspektorat di bawah kepala daerah. Itu harus segera dirombak,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengatakan, kementeriannya akan melakukan pengawasan secara lebih maksimal. Dia menuturkan, sudah ada mekanisme pengawasan yang berjalan saat ini. Di mana kemendagri melakukan evaluasi terhadap Rancangan Perda APBD.
“Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah juga melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan APBD kabupaten/kota di wilayahnya,” ujarnya.
Dengan evaluasi tersebut, rancangan penggunaan diharapkan bisa lebih baik. “Penyerapan anggaran rendah, antara lain disebabkan kualitas perencanaan anggaran belum maksimal,” ujarnya saat dikonfirmasi.
Sementara terkait pengawasan dari penyalahgunaan, dia menyebut Kemendagri sesuai Peraturan Mendagri nomor 35 tahun 2018 telah mengamanatkan kepada inspektorat daerah untuk melakukan pengawasan. Namun diakuinya, inspektorat masih memerlukan penguatan, termasuk soal anggaran.
“Belum diikutinya dana transfer dengan anggaran pengawasan dan transfer pengetahuan dari pusat bagi Inspektorat Daerah untuk melakukan pengawasan,” ujarnya.(far/ted)