NU Desak Hapus Pemilukada Langsung

Politik | Senin, 17 September 2012 - 08:56 WIB

CIREBON (RP) - Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU memutuskan, Pemilukada yang dipilih oleh DPRD masih lebih baik daripada pemilihan langsung. Pemilihan gubernur serta bupati/wali kota seperti yang ada saat ini dianggap lebih banyak berdampak negatif terhadap masyarakat. Keputusan yang digodok di komisi maudluiyah (tematik) itu memunculkan perdebatan hangat. Berbagai pandangan yang didasari dalil-dalil keislaman mengemuka.

‘’Kami di komisi matsail diniyah maudluiyah akhirnya merekomendasikan kepada pemerintah untuk mengkaji ulang Pilkada langsung menjadi Pilkada tidak langsung yang dipilih melalui DPRD,” tutur Katib Am PB NU Malik Madaniy di sela-sela munas di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Ahad (16/9).

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Malik memaparkan, niat baik empat tokoh reformasi (Gus Dur, Megawati, Amien Rais, dan Sri Sultan Hamengku Buwono X) dalam pertemuan di Ciganjur, Jakarta, pada November 1998 ternyata tidak kunjung terbukti. Hingga delapan tahun terakhir, pelaksanaan Pilkada langsung justru menyerap pendidikan politik yang negatif. ‘’Rakyat diajari mengemis kepada kandidat. Akibatnya, pendidikan politik hanya jadi mimpi,” tutur Malik.

Padahal, di sisi lain, lanjut dia, kerusakan masif moral masyarakat terus meluas. Terutama, politik uang (money politics) yang sudah dianggap lazim di tiap perhelatan Pilkada.

‘’Belum lagi, dampak lainnya tentang potensi konflik horizontal yang juga tinggi karena pelaksanaan Pilkada langsung,” paparnya. Termasuk, lanjut dia, dana cukup besar yang harus dikeluarkan  oleh negara ataupun kandidat dalam Pemilukada . ‘’Intinya, kami memandang pilkada langsung lebih banyak mudaratnya ketimbang maslahatnya,” tegasnya.

Secara prinsip, pandangan NU itu senada dengan pemerintah dalam proses revisi UU Pilkada yang kini berlangsung di parlemen. Bedanya, dalam drafnya, pemerintahnya hanya mengajukan pemilihan ke DPRD untuk gubernur. ‘’Koreksi itu seharusnya total, tidak usah setengah-setengah,” tutur pengajar UIN Sunan Kalijaga tersebut.

Lalu, apakah ini berarti perjalanan demokrasi di Indonesia set back? Malik lantas menyitir salah satu isi pidato Rais Am PB NU KH Sahal Mahfudh dalam pembukaan Munas Alim Ulama dan Konbes NU.

Saat itu KH Sahal mengutip salah satu ucapan sahabat Nabi SAW, yakni Umar bin Khatab. Yaitu, merujuk kembali pada yang benar lebih baik daripada berlarut-larut mempertahankan yang salah. ‘’Apa kita mau terus terjebak pada situasi seperti ini?” ucapnya.

Seperti diberitakan, kegiatan itu juga membahas sejumlah isu lain. Di antaranya, kewajiban membayar pajak bagi masyarakat. NU memutuskan menunda fatwa tidak wajibnya masyarakat membayar pajak. NU memilih menunggu komitmen pemerintah untuk menuntaskan persoalan dana rakyat yang masih marak dikorupsi hingga sekarang tersebut. ‘’Yang pasti, harus ada action,” kata Ketua Umum Tanfidziyah PB NU Said Aqil Siraj kemarin.

Munas juga memutuskan hal yang terkait dengan pemberlakuan hukuman mati untuk koruptor. Putusan itu menjadi salah satu hasil sidang komisi matsail al waqi”iyah. Yakni, hukuman mati diperbolehkan, namun pengadilan harus mempertimbangkan berat dan ringannya tindak pidana yang bersangkutan.(dyn/agm/izl)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook