Mengenali Politisi Spanduk

Politik | Senin, 15 Oktober 2018 - 15:12 WIB

Mengenali  Politisi Spanduk
BAGUS SANTOSO

(RIAUPOS.CO) - Sejak merdeka tahun 1945, Indonesia sudah melaksanakan Pemilu sebanyak 11 kali. Itu terhitung mulai dari pemilu pertama di 1955 hingga pemilu 2014 lalu. Dengan begitu, Pemilu Serentak Legislatif dan Presiden 2019 adalah gelaran pesta demokrasi ke-12 yang akan dilakukan di Indonesia. 

Ada sebuah fenomena menarik di jagad perpolitikan Tanah Air. Sejak masa reformasi Pemilu 1999, 2004, 2009, 2014 sampai yang akan digelar tahun depan, orang-orang yang notabene berprofesi non-politisi seperti pensiunan, pengasuh pondok pesantren, guru, pengusaha, selebritis berlomba-lomba untuk menjadi politisi alias mendaftarkan diri sebagai calon legislatif.

Fenomena ini menjadi semakin menarik ketika para pengusaha padat modal dan selebritis dengan bekal popularitas mencoba mengadu “nasib” untuk bertarung merebut suara dengan beralih profesi menjadi politisi. Artinya, dunia politik telah menjadi profesi yang sedemikian menggoda untuk mewujudkan sebuah cita-cita atau gagasan, apakah itu untuk kepentingan bersama atau kepentingan individu. 
Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Cara pintas menjadi politisi ini dapat juga dibaca sebagai pergeseran cara parpol untuk merebut kekuasaan dengan mengandalkan orang-orang yang tidak punya pengalaman politik, namun punya uang, massa dan popularitas untuk dijadikan ikon guna merebut kantong-kantong suara. Maka proses pemilu juga mengulangi peristiwa lama dengan munculnya spanduk, baleho sebagai sarana tebar pesona caleg kepada masyarakat. 

Dalam beberapa perdebatan tentang demokrasi, tidak jarang mengemuka bahwa “demokrasi bukanlah terbaik dari semua sistem pemerintahan yang ada sepanjang sejarah, tetapi demokrasi merupakan yang buruk dari yang terburuk”. Maksudnya karena tidak ada lagi yang lebih sedikit buruknya dari demokrasi, maka serta-merta demokrasi menjadi inspirasi bagi penghayal kebebasan untuk diperjuangkan.

Itulah filosofi dasar demokrasi yang menempatkan kebebasan sebagai harga mutlak yang harus disebar ke setiap sudut dan ruang kehidupan rakyat. Karena itu, negara yang baru saja melakukan redemokratisasi (hijrah bentuk pemerintahan dari sistem otoriterianisme ke sistem demokrasi) pasti rakyatnya mengalami euforia demokrasi (memanfaatkan kebebasan berlebih setelah terkungkung cukup lama). 

Pascareformasi euforia demokrasi yang berlebihan dan cenderung tidak terkendali dalam eskalasi pasar demokrasi Indonesia menjadi penyebab awal munculnya inflasi politisi setiap jelang pemilu. Suatu kondisi dimana jumlah kuantitas politisi jauh melebihi dari kebutuhan, sementara secara kualitas tidak dirasakan langsung oleh rakyat.

Entah sependapat atau tidak, menuju Pemilu 2019 banyak caleg dadakan muncul kepermukaan. Ruslan Ismail Mage, Direktur Eksekutif Sipil Institut Jakarta  mengidentifikasi sebagai “Politisi Spanduk” (politisi yang mengabaikan hukum proses dengan mengandalkan elektabilitasnya pada spanduk, baliho, kalender, jam dinding, kaos, stiker sampai kartu nama). 

Ia muncul tiba-tiba karena didukung oleh faktor modal dari kocek sendiri atau gabungan modal dari komunitas tertentu tapi sebenarnya kering dukungan riil sebab tidak memiliki jaringan-jaringan sosial di tengah masyarakat. Politisi spanduk ini mencoba memanfaatkan euforia demokrasi untuk ikut bertarung dalam perebutan kekuasaan dengan harapan suara rakyat dapat diarahkan. 

Sejumlah caleg terjebak pada kuasa dunia maya, mengira dengan menyebar jargon dan spanduk di simpang jalan serta FB, WA dan medsos mujarab untuk meyakinkan pemilih. Boleh jadi tahun sebelumnya ada sebagian politisi spanduk yang lolos ke parlemen, namun biasanya hanya bertahan satu putaran. 

Demi mengkatrol popularitasnya, politisi spanduk biasanya tidak segan-segan membuang uang ke dalam pasar demokrasi. Dengan kemampuan modal yang dimiliki ia sanggup membangunkan orang tidur sekalipun untuk menatap gambar dan foto dirinya di media elektronik dan media cetak. 

Hampir semua ruang publik dan waktu bisa dibeli untuk menyapa rakyat secara dadakan. Spanduk digantung di setiap sudut kota untuk memproklamirkan dirinya sebagai orang yang lebih baik dibanding orang lainnya. Baliho ukuran raksasa bergambar dirinya menebar janji dan harapan ditancapkan dihampir setiap simpang jalan. 

Ya syukurlah untuk Pemilu 2019 ada aturan KPU yang mengatur APK. Silakan brosur disebar ke pasar-pasar tradisional, warung kopi, kedai, dan tempat-tempat komunitas lainnya. Baju kaos bergambar dirinya sebagai pemimpin masa depan dibagikan gratis, dan masih banyak bentuk lain yang tiba-tiba serba gratis. Tapi janganlah pohon-pohon di pinggir jalan disulap menjadi galeri tempat menempel foto citra diri. 

Dalam literatur ilmu politik, teori kepura-puraan Machiavelli bisa dipakai untuk menyikapi bergentayangannya politisi spanduk menjelang digelarnya pasar demokrasi terbesar republik ini pada Pemilu 2019. Kata Machiavelli, setiap penguasa (politisi) harus pintar “hidup dalam kepura-puraan”. 

Pura-pura empati, bermoral, sopan, santun, bersih, dan berbudi luhur. Tiba-tiba murah senyum menebar pesona. Tiba-tiba berbudi luhur menyapa setiap tetangga, tiba-tiba empati suka menyumbang, tiba-tiba menyantuni anak yatim piatu, dan banyak lagi serba tiba-tiba yang membuat rakyat terkesima memandang sosoknya. 

Dengan uang, politisi spanduk bisa saja terus membangun popularitasnya, tetapi karena sifatnya dadakan maka tidak pernah bisa merakyat. Karena merakyat sejatinya tidak bisa dibuat-buat atau disulap simsalabim, karena di situ ada ketulusan dan keikhlasan. 

Perlu waktu relatif lama untuk melahirkan pemikiran cemerlang dan karya-karya nyata. Di sinilah kelemahan dasar politisi spanduk. Ia tidak menyadari kalau menjadi populer berbeda dengan merakyat. Populer belum tentu merakyat, sementara merakyat sudah pasti populer. 

Untuk menyikapi munculnya berbagai kerakter politisi spanduk yang menjual kecap di pasar demokrasi, maka rakyat sebagai konsumen produk keputusan politik  harus menjadi pemilih kalkulatif. Pemilih yang bisa mengkalkulasi untung ruginya memilih seorang caleg. Rakyat jangan terkecoh lagi dengan politik pencitraan yang menganut paham “bengak-isme”. 

Sekali salah memilih politisi, maka sistim ketatanegaraan kita mengharuskan menunggu lagi lima tahun untuk melakukan perubahan. Dan data menunjukkan  hampir setiap usai pesta lima tahunan berganti wajah-wajah baru anggota DPR/DPRD bukti tak berkesinambungan dukungan.(salah pilih, red).

Karena itu, dalam menentukan pilihan tidak hanya melihat spanduk dan baleho, karena setiap menjelang pemilu banyak politisi dadakan memakai topeng menyembunyikan wajah aslinya. Ibarat mau menantu, para politisi spanduk rajin pergi ke salon-salon kecantikan sebagai persiapan datang melamar rakyat. 

Begitulah nasib rakyat. Hanya disayang, dibelai, dipeluk, digendong dan ditimang-timang pada waktu kampanye. Setelah itu rakyat kembali dilupakan. Maka mengenal politisi lebih tepat seseorang yang dikenal dan mengenal. Politisi itu tetangga kita, tinggal di dapilnya, mudah berkomunikasinya, jelas jenjang karir politiknya. Masihkah politisi spanduk menjadi pilihan Anda?***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook