JAKARTA (RP) - Ide pelaksanaan pilkada serentak mulai mendapat respons dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Setelah berbagai usul muncul dari parlemen, Kemendagri ternyata telah menyiapkan beberapa formulasi gelaran pilkada serentak yang kemungkinan terlaksana setelah Pemilu 2014.
”Gelaran pilkada dibagi dua grup atau dua kelompok,” kata Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan dalam diskusi di ruangan Fraksi Partai Golkar (FPG) di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (14/9).
Djohermansyah mengatakan, salah satu usul yang disampaikan Kemendagri dalam pembahasan RUU Pilkada adalah memundurkan gelaran pilkada 2014 menjadi 2015. Setahun setelah pemilu itu, akan ada 279 pilkada yang digelar secara serentak.
”Perinciannya, pilkada 2010 (habis masa jabatan 2015, red) sebanyak 236 dan pilkada yang ditunda 2014 sebanyak 43,” kata Djohermansyah.
Grup atau pengelompokan kedua digelar pada 2018. Djohermansyah menyatakan, pilkada serentak pada 2018 merupakan gabungan dari tiga pilkada, yakni 2011 hingga 2013. Terdapat 66 pilkada yang terjadi pada 2011, 57 pilkada pada 2012, dan 122 pilkada, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta yang dilakukan penetapan.
Dengan adanya pilkada serentak itu, lanjut Djohar, tentunya memunculkan konsekuensi. ”Harus ada perpanjangan masa jabatan dengan menggunakan penjabat (pejabat sementara, red) di sejumlah daerah,” ujarnya. Untuk pilkada 2014 yang ditunda dan pilkada yang digelar pada 2014, dibutuhkan penjabat dengan masa kerja satu tahun. Untuk pilkada 2011, harus ada penjabat yang melakukan tugas sementara selama dua tahun. Pilkada serentak juga bisa memunculkan ekses negatif terjadinya kerusuhan yang mengancam stabilitas nasional.
Dengan rumusan tersebut, nanti terbentuk tiga kelompok besar dalam pemilu. Pemilu legislatif dan pemilu presiden, ditambah dengan pilkada yang dibagi dua kelompok besar.
Dia menambahkan, gelaran pilkada serentak memiliki banyak arti. Sejak dimulainya era pilkada dengan pemilihan langsung, Indonesia tercatat telah menggelar 852 pilkada. Rata-rata, pilkada digelar tiga hari sekali. ”Indonesia bisa memecahkan rekor dunia, efeknya banyak sekali,” ujar peraih profesor public policy analysis di Monash University, Melbourne, Australia, itu.
Namun, pilkada serentak juga memiliki manfaat. Menurut Djohermansyah, perencanaan pembangunan lebih sinergi antara pusat dan daerah. Rakyat tidak perlu berulang-ulang pergi ke bilik suara. Demikian juga, ada efisiensi biaya dan waktu, tidak banyak tim sukses. ”Bila ada sengketa, untuk dibatasi waktu jika sengketa melalui pengadilan sehingga tahapan tidak terganggu,’ tandasnya.
Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, pelaksanaan pilkada secara serentak juga akan memberikan kemudahan jika terjadi gugatan sengketa hasil pilkada. Misalnya, jika membawa gugatan tersebut ke MK, harus mempertimbangkan biaya-biaya saksi datang atau membawa barang-barang yang menjadi alat bukti ke Jakarta.
Karena itu, lanjut dia, ada usul dengan pengadilan di daerah. ”Kan bisa dibikin ad hoc,” kata dia. Apalagi, pilkada serentak tersebut dilakukan per provinsi. ”Sekali saja dibuatnya bikin ad hoc di situ. Terus, nanti lima tahun kemudian bikin lagi,” sambung Gamawan.
Ketua KPU Husni Kamil Manik menyatakan sepakat dengan ide pelaksanaan pilkada serentak. Namun, Malik mengusulkan agar pilkada serentak tersebut tidak dilaksanakan pada 2015. ”Pada 2015, masih sulit digelar pilkada serentak. Baru dilaksanakan pada 2016,” ujar Husni.
Dia memiliki pertimbangan mengapa pilkada serentak sebaiknya digelar pada 2016. Menurut dia, pada 2015 KPU perlu melakukan konsolidasi nasional sebelum menggelar pilkada serentak. Konsolidasi itu juga perlu dilakukan dengan pemerintah daerah agar pengajuan anggaran untuk pilkada bisa disampaikan. ”Persiapan KPU bisa lebih baik karena distribusi beban bisa terbagi rata,” ujarnya. (bay/fal/c4/agm/jpnn)