PROSES SELEKSI CALON KPU

Saiman: Jangan Jadi Demokrasi “Pesanan”

Politik | Kamis, 13 Desember 2018 - 11:42 WIB

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Proses seleksi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota masih menjadi polemik. Pasalnya, banyak peserta yang tidak lolos merasa janggal dengan hasil penilaian Tim Seleksi (Timsel). Misalnya saja dugaan keterlibatan oknum ormas di Kabupaten Kuantan Singingi yang menjamin peserta lolos hingga 10 besar. Belum lagi keluhan peserta seleksi pada komitmen Timsel.

   Menanggapi hal itu, Pengamat Politik Saiman Pakpahan menyebutkan, gejolak pada proses seleksi seharusnya tidak muncul bila proses yang dilaksanakan Timsel sesuai dengan ketentuan. Ia menjelaskan ada dua metode rekrutmen yang sering terjadi di Indonesia. Pertama, adalah rekrutmen dengan dasar kompetensi dan skill peserta. Kedua, ada pula rekrutmen yang menganulir siapa dekat dengan siapa. Siapa yang bisa mengintervensi siapa.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

    “Ini yang terjadi. Sehingga mengapa banyak calon komisioner KPU merasa dirugikan. Kita juga harus tahu setting politik rekrutmen bukan clear, artinya dia tidak bebas intervensi. Ini terlebih ada pola rekrutmen yang bebas dari intervensi kepentingan,” ujar Saiman, Rabu (12/12) siang.

    Diakui dia, Timsel juga bukan seorang “dewa”. Karena itu dugaan terhadap adanya intervensi juga relevan dengan gejolak yang terjadi. Apalagi ada cerita seperti keterlibatan ormas dalam mengawal kelulusan peserta. KPU RI, menurut dosen FISIP Universitas Riau itu harus menanggapi serius masalah ini. Jangan sampai menjadi bola salju. Apa lagi pada tahun politik saat ini.

    “KPU adalah sebuah institusi vital dalam proses penyelenggaran pemilu. Di mana kita tahu proses tersebut merupakan sebuah ajang yang menunjukkan demokrasi sebuah negara. Jangan ini kemudian menjadi bola salju. Sehingga kasus ini merambat ke mana-mana,” tukasnya.

    Kepada peserta yang merasa dirugikan, ia mendukung bila ada keinginan untuk melaporkan. Sehingga proses demokrasi di Republik Indonesia tidak tercoreng. Bahkan bila perlu tidak hanya satu atau dua orang saja yang bersuara. Menurut dia, harus semua peserta yang merasa dirugikan ikut menyuarakan masalah tersebut.

Sementara itu, Ketua Timsel KPU Wilayah I Muhammad Sahal saat dikonfirmasi mengenai keluhan salah seorang peserta yang diduga ada keterlibatan oknum ormas mengaku kaget. Dirinya kemudian mempertanyakan hubungan ormas dengan Timsel selama ini.

   “Hubungan ormas dengan Timsel apa? Timsel dibentuk independen oleh KPU RI. Pertanyaannya apa hubungan ormas dengan Timsel itu apa,” tanyanya.

   Soal dugaan kolusi yang terjadi pada saat proses rekrutmen dirinya juga membantah.

“Saya terus terang agak kaget mendengar informasi ini. Menurut saya tidak pernah terbayang akan ada langkah-langkah seperti itu. Semacam bayar membayar. Kami bekerja sesuai aturan yang berlaku,” tegasnya.

   Begitu juga dengan kinerja Timsel yang lain. Di mana dirinya merasa tidak ada yang janggal dalam proses yang telah berlangsung. Soal adanya rencana pelaporan ke KPU RI, dirinya mempersilakan. Menurut dia, hal itu merupakan hak setiap warga negara untuk melaporkan sesuatu.

Ketua Timsel Wilayah II Kampar Disebut Berbohong

Kini giliran peserta tes KPU Safrul Rajab SE MM untuk Wilayah II Kabupaten Kampar membantah apa yang disampaikan oleh Ketua Timsel Wilayah II Kampar Dr Elfiandri MSi. Dia menegaskan apa yang disampaikan Ketua Timsel itu bohong, karena tidak menjalankan tes sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

   Ditambahkannya, dari lima Timsel yang di-SK-kan itu, tidak pernah komplet saat tes, namun bisa memutuskan hasil tes dengan meloloskan 10 nama dan dikirim ke pusat, dari 40-an peserta yang ikut tes. Atas dasar ini, meski Safrul tidak mempersoalkan hasil tes, namun dia berharap, agar sebaiknya proses tes dijalani dengan benar, bukan dengan ada unsur lain, seperti kedekatan, atau peserta titipan dari pihak-pihak tertentu.

   “Jadi kami membantah apa yang disampaikan oleh Ketua Timsel Wilayah Kampar, Elfiandri itu. Dia mengatakan dia sudah bekerja sesuai dengan ketentuan, itu bohong semua,” tegas Safrul, Rabu (12/12) siang.

   Yang paling disayangkan Safrul, saat tes wawancara, Timsel tidak lengkap datangnya, hanya dua orang, kadang tiga orang. “Tapi mengapa bisa memutuskan keputusan yang ini sangat menentukan kinerja Timsel. Jadi apa yang disampaikan di media itu hanya alasan klasik,” papar Safrul.

 Disampaikan Safrul, untuk tes pertama itu menggunakan CAT. Mestinya dengan sistem CAT bisa dijadikan modal awal melihat potensi yang ada, karena ini hasilnya sangat objektif, di mana selesai ujian langsung keluar nilainya. Lalu lanjut dengan tes psikologi semua peserta tes diwajibkan ikut, lalu tes kesehatan.

 “Untuk tes kesehatan ini kan tidak sesuai substansi, dan tidak ada rekomendasi gagal dari tes kesehatan ini, karena diyakini juga peserta yang ikut ini tidak ada penyakit akut,” tambahnya.

 Untuk tes wawancara, disampaikan Safrul, semua relatif, tidak ada tolok ukur yang dapat dibaca, dimana parameter untuk menggagalkan orang itu apa, tidak tahu. “Mana ada tolok ukurnya, masa hasil wawancara yang tidak sesuai dengan ketentuan dijadikan dasar mencoret atau menggagalkan peserta,” ujar dosen di kampus Unilak ini lagi.

Pertanyaan saat wawancara dikatakan Safrul, soal lain yang tidak ada kaitan dengan pemilu. “Saya malah disuruh mengenalkan diri, lalu pengalaman kerja, lalu soal kedosenan saya. Jadi tes wawancaranya hanya normatif tidak substantif,” katanya.

   Artinya, ungkap Safrul yang dipertanyakan oleh Timsel yang tidak pernah datang lengkap lima orang itu kepada peserta tes KPU tidak mengikuti panduan yang diterbitkan PKPU pusat. “Padahal panduannya ada, tapi tidak dipatuhi. Pertanyaan wawancaranya normatif semua. Makanya saya heran, kenapa mereka bisa terpilih jadi Timsel,” ungkapnya menyayangkan hasil pengumuman Timsel dan juga mempertanyakan kredibilitas Timsel ini.

 Apalagi saat ada pengaduan masyarakat soal peserta tidak digubris, mestinya harus ada dulu uji publik, dan direspon. “Dari sini juga Elfiandri itu berbohong, katanya mengikuti aturan, mana ada, bohong dia itu,” tegasnya.

 Jadi semestinya, disampaikannya lagi, di tes CAT itu yang menentukan, psikologi, atau kesehatan itu hanya rekomendasi. Begitu juga dengan tes wawancaranya.

 “Saya tidak minta saya diluluskan, tapi saya menilai prosesnya ini tidak benar. Karena kalau prosesnya benar, tentu output nya benar. Jadi, ketika output nya dipertanyakan bagaimana dengan kinerja para Timsel dan hasil yang diluluskan,” kesalnya mengakhiri.

   Disisi lain, Ketua Timsel KPU Wilayah II Elfiandri saat dikonfirmasi Riau Pos tidak merespon. Panggilan seluler ke nomor telepon yang biasa digunakan Elfiandri tidak merespon.(nda/gus)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook