Perppu MK Bisa Menjadi Jalan Makzulkan SBY

Politik | Jumat, 11 Oktober 2013 - 07:57 WIB

JAKARTA (RP) - Suara penolakan atas rencana presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait Mahkamah Konstitusi kembali muncul. Anggota Komisi III (bidang hukum) DPR Ahmad Yani menilai, perppu justru bisa menjadi jalan untuk memkzulkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

    

Itu terjadi jika dalam perppu yang akan diterbitkan mengatur pengawasan hakim MK juga dilakukan Komisi Yudisial. "Saya tidak setuju dengan perppu. Kalau dipaksakan, itu bisa menjadi ruang untuk impeachment," kata Yani di kompleks parlemen, Kamis (10/10).

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

    

Dia mengatakan, pengawasan hakim konstitusi oleh KY pernah diputuskan MK. Putusan itu bersifat final dan mengikat. Menurut Yani, pemerintah lebih baik memikirkan pengawasan yang akan diberlakukan kepada MK. "KY sudah tidak boleh mengawasi MK. Maka, adakan pengawasan lain. Tinggal dicarikan solusi masalah ini. Pemerintah juga bisa mengajukan perubahan undang-undang MK," terang anggota Fraksi PPP itu.

Menurut Yani, kasus dugaan suap yang melibatkan mantan Ketua MK Akil Mochtar memang mengejutkan. Namun, MK sebagai lembaga tetap harus dipertahankan. "MK ini dibuat ideal dalam rangka check and balance dalam pembuatan UU. Sampai kapan pun MK ini tetap diperlukan," katanya.

    

Yani mendorong penuntasan kasus dugaan suap di lembaga yang disebut-sebut sebagai penjaga konstitusi itu. Termasuk jika ada kasus-kasus lain yang berkaitan dengan sengketa pilkada di MK. "KPK harus didorong dan menyelesaikan kasus-kasus lain, tapi MK juga harus dijaga," tegasnya.

    

Di tempat yang sama, Wasekjen PDI Perjuangan Hasto juga menilai, fokus saat ini adalah menyelesaikan kasus permainan uang dalam sengketa pilkada di MK. Apalagi, berdasar pengalaman PDIP, terbuka kemungkinan dugaan permainan itu dalam kasus sengketa pilkada yang lain. "Tidak boleh meluas dulu pada persoalan perppu," katanya.

    

Dia mencontohkan pengalaman kasus pilkada Bali. Saat itu, PDIP mengusung pasangan AA Gede Ngurah Puspayoga dan Dewa Nyoman Sukrawan. Gugatan ditolak dengan selisih perolehan 996 suara. Namun, dalam putusannya, PDIP menilai ada kejanggalan dalam putusan MK tersebut.

    

Sementara itu, mantan Ketua MK Mahfud M.D. mengatakan, dirinya juga kecewa ketika KY diputuskan tidak bisa mengawasi hakim MK. Namun, karena putusan MK bersifat final, harus ada solusi lain yang bisa dilakukan saat ini. Sebab, pengawasan oleh KY tidak bisa dengan dasar perppu. "Saya setuju komite etik (majelis kehormatan konstitusi) dipermanenkan saja," katanya. (fal/c6)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook